Sabtu, 14 Mei 2016

RESENSI BUKU



Resensi Buku “Mohtar Mas’oed, S. Rizal Panggabean, dan Muhammad Najib Azca”

Identitas Buku          
Judul           : Sumber-sumber Sosial bagi Sivilitas dan Partisipasi : Kasus  Yogyakarta, Indonesia
Penulis        : Mohtar Mas’oed, S. Rizal panggabean, dan Muhammad Najib Azca
Isi Pokok    :
              Ini adalah kisah tentang Yogyakarta, orang- orangnya, dan kebudayaannya. Di daerah kecil ini, menampung sebuah komunitas tradisi-tradisi jawa. Yogyakarta melestarikan sebuah warisan cultural yang diwariskan dari generasi ke generasi.
              Di masa lampau, anak-anak Yogya dibesarkan di dunia yang sarat dengan folklore dan mitologi. Kebanyakan masyarakat Yogya percaya dengan dua dongeng yaitu suatu legenda yang bercerita tentang kemakmuran akan dating pada komunitas yang orangnya mampu menyatukan air Sungai Progo dengan Sungai Opak. Dongeng yang kedua, menyangkut roh-roh agung yang menghuni Gunung Merapi. Orang percaya bahwa kesuksesan raja-raja Jawa tergantung pada kemampuan si penguasa untuk selalu mempertimbangkan kekuatan-kekuatan magis. Nilai moral yang ada pada cerita tersebut yaitu sebuah komunitas yang makmur dan damai bisa tercapai hanya jika orang-orangnya siap untuk hidup berkelompok demi kepentingan bersama.
              Awal 1950-an, Yogyakarta diberi status administrasi istimewa dalam Republik Indonesia dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan daerah ini dipandang sebagai sebuah komunitas yang memadukan ketenangan dengan dinamisme. Di satu pihak Yogyakarta digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai komitmen pada tradisi kesabaran, ketenangan, dan moderasi. Mereka sangat menjunjung tinggi kebudayaan Jawa. Di pihak lain, sejak jaman revolusi Yogyakarta mengisyaratkan dinamisme.
              Peranan istimewa yang dimainkan oleh Yogyakarta selama gerakan reformasi menentang presiden Suharto pada akhir 1990-an. Sejak orde baru banyak terjadi insiden-insiden seperti pembunuhan missal, penjarahan, dan penghancuran kota di Indonesia.
              Di Yogyakarta terdapat kultur politik yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat Yogya itu sendiri. Dalam kultur politik tersebut terdapat tiga fokus. Pertama, meneliti sejarah perubahan sosial di Yogyakarta dengan menyederhanakan hubungan antara wacana-wacana dan praktek-praktek pluralism dan partisipasi civic di Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengembangkan sebua politik baru dan melahirkan sebuah tradisi toleransi dan akomodasi. Kedua, meneliti pengalaman hubungan horizontal di kelompok manusia Yogyakarta yang berlainan di empat lingkup social, yaitu aktivitas keagamaan, LSM, asosiasi civic lainnya, organisasi politik, dan bisnis. Dari penelitian ini menggambarkan wacana-wacana dan praktek kewarganegaraan dalam kehidupan nyata.

Revolusi dari atas
              Sebagai situs Kesultanan Hamengku Buwono, Yogyakarta sekarang menunjukkan pengaruh besar dari inisiatif-inisiatif politis dari dua pemimpin terakhir dari keluarga kerajaan ini. Ada dua inisiatif politik kesultanan yang pantas disebut khusus.  Pertama, keputusanpenting Sultan Hamengku Buwono IX pada pertengahan 1940-an untuk mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia. Inisiatif kedua, langkah kritis dari keturunan dan penggantnya, Sultan Hamengku Buwono X, pada akhir 1990-an untuk bergabung dengan kepemimpinan gerakan reformis menentang rezim Orde Baru yang otoriter.
              Dari berbagai inisiatif yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta ini terdapat langkah-langkah pembaharuan di empat bidang yaitu pembaharuan nasionalisme, populisme, demokrasi, dan moderenisasi. Salah satu ciri menarik dari pembaharuan itu adalah pelembagaan demokrasi dalam politik dan pemerintahan daerah. Di antara berbagai skema pembaharuan sultan, tak ada yang memicu perubahan sosial yang lebih mendalam dan langgeng dari diperkenalkannya pendidikan missal sebagai instrument utama modernisasi sosial. Dan inisiatif yang diambil oleh sultan pada akhir Agustus 1945 memberikan sumbangan lebih jauh pada transisi Yogyakarta menuju komunitas yang lebih terbuka.

Revolusi Kebudayaan
              Beberapa ilustrasi akan disajikan untuk merasakan pengaruh revolusi kebudayaan ini. Ada beberapa kasus dari proses dinamika sosial yang mendorong masyarakat Yogyakarta menuju kebudayaan yang lebih terbuka dan toleran:1) komunitas seniman yang memperkenalkan kebudayaan kosmopolitan pada Yogyakarta, 2) munculnya sebuah kota universitas yang dinamis di wilayah itu, 3) proses akulturasi yang muncul dari pengaturan-pengaturan perumahan mahasiswa.
              Karya kreatif komunitas seniman baru Yogyakarta mengilustrasikan aspek kultural dari kosmopolitanisme yang semakin berkembang di kota itu. Studio-studio dan lokakarya yang dimunculkan pad 1940-an merupakan embrio bagi pertumbuhan jaringan sekolah-sekolah dalam musik, tari, seni pertunjukan, dan seni-seni lain. Banyak orang lokal yang menyumbang pada proyek akulturasi yang menciptkan  aneka karya inovatif, khususnya di bidang lukisan batik, tari Jawa, dan wayang kulit.
              Ekspresi dari adanya kosmopolitan  itu melibatkan ekspansi yang mantap dari ikatan-ikatan transnasional selama 50 tahun terakhir. Bersama universitasnya Yogyakarta telah mengmbangkan sebuah komunitas ekspatriat sebagai peneliti, guru, mahasiswa, manajer proyek, dan penyedia jasa bagi aneka universitas Yogyakarta.  Contoh lain dari proses-proses yang mendorong Yogyakarta ke arah kebudayaan yang pluralis dan toleran menyangkut hal sepele, yaitu pengaturan perumahan bagi para mahasiswa. Fasilitas-fasilitas pendidikan Yogyakarta yang sangat bagus menarik gelombang mahasiswa muda “pendatang” dari seluruh Indonesia.
              Salah satu fasilitas yang disediakan di daerah ini yaitu adanya asrama bagi mahasiswa pendatang. Dari ekspansi tempat tinggal seperti ini, yang terlepas dari pengaruh budaya Jawa tinggi dan yang memiliki rasa multietnis yang hidup, membantu menjelaskan mengapa pada 1980-an hanya ada konflik etnis di kota Yogyakarta. Sejarah tempat hunian dan politis ini adalah konteks yang memunculkan kontemporer. Konteks inilah yang menyaksikan pengembangan dan penyebaran sebuah kebudayaan pluralism dan toleransi baru.

Empat Lingkup Wacana dan Praktek Pluralisme

Bidang Keagamaan : Menciptakan Sebuah “Platform Bersama” bagi Aneka Umat Beragama
             
              Tradisi reformasi dalam komunitas-komunitas keagamaan Yogyakarta, khususnya komunitas Muslim, mempunyai akar-akar historis yang mendalam. Pada awal abad ke-20, sekelompok sarjana muda pulang belajar Islam di Mekah dengan membawa sebuah pemahaman baru mengenai agama dan memperbarui praktek-praktek keagamaan di antara sesama Muslim yang mereka anggap menyimpang, mistis, atau klenik.
              Semangat reformis yang dikembangkan oleh kelompok diskusi baru yang diorganisir oleh para intelektual muda di Yogyakarta pad 1970-an. Sementara itu, komunitas Kristen Yogyakarta menyaksikan perhatian yang terus berkembang pada teologi pembebasan, nilai-nilai pluralis, dan dialog antar kepercayaan. Pada 1992, kelompok-kelompok diskusi Yogyakarta (Muslim dan Kristen) bersatu untuk menciptakan sebuah institusi yang mengadvokasikan dialog antar-iman, yang disebut Interfidei. Sebuah kelompok pluralitas meliputi orang-orang dari berbagai latar belakang keagamaan yang berlainan, Interfidei bertindak sebagai sebuah institusi penengah dan mengawalai dialog antar-iman melalui lokakarya, seminar,dan penerbitan di Yogyakarta dan propinsi-propinsi lain.
Bidang Civic : Berorganisasi bagi Kaum Perempuan

              Buah lain dari kebudayaan kosmopolitan Yogyakarta, dan khususnya inisiatif-inisiatif neo-modernis masa 1970-an, sekelompok aktivis muslim. Sebagai pusat krisis perempuan pertama di Indonesia, Rifka Annisa membangun kesadaran mengenai kekerasan terhadap perempuan. Para perempuan yang terlibat dalam gerakan Aisiyah Muhammadiyah. Rifka Annisa menunjukkan ketrampilan hebat dalam menyebarluaskan ide-ide, termasuk pamphlet, brosur, dan buku. Dari inisiatif ini diharapkan mampu meningkatkan partisipasi civic melinyasi spectrum komunitas yang luas, termasuk orang-orang dari berbagai latar belakang etnis dan religius yang berlainan.
Bidang Politik : Mengatasi Politik Konvensional

              Wacana tentang sivititas yang dikembangkan pada 1970-an dan diimplementasikan pada 1980-an memberikan latar belakang bagi  usaha-usaha baru untuk mengembangkan sebuah politik yang lebih pluralistis yang mampu melakukan mobilisasi pendukung etnoreligius yang berlainan. Pada awal 1990-an pemimpin muda, Mohammad Amien Rais, memecahkan sebuah tabu politik. Amien Rais mendirikan partai politik pada 1998 untuk mengerahkan dukungan dari kelompok etnoreligius yang berlainan. Partai amanat nasional (PAN), kelompok baru ini mempersatukan kelompok kecil seperti Katolik, Kristen, Hindu, Cina dll.
Bidang Ekonomi : Menjembatani Jurang Etnis

              Dipandang dari stereotip-stereotip yang tersebar luas di Indonesia. Awal 1980-an, Budi seorang Indonesia keturunan Cina konvensional. Ia mempunyai aktivitas bisnis yang mengandalkan koneksi keluarga dan kerabat. Kepercayaan agamanya didasarkan pada ajaran Konfusian. Budi adalah contoh tentang kesulitan-kesulitan yang berusaha menjembatani kesenjangan ekonomi antara Cina dan pribumi di Indonesia. Usaha-usaa Budi untuk menjembatani kesenjangan ekonomis itu tidak terjadi di sebuah vakum sosial. Aksi-aksinya mencerminkan situasi dan kondisi tertentu khas Yogyakarta dan Jawa. Orang-orang Indonesia keturunan Cina yang hidup dalam lingkungan budaya Jawa berperilaku lain yang hidup dalam lingkup budaya lain. Keempat kasus yang dibahas di atas mengisyaratkan wacana-wacana dan praktek yang kompleks dari pluralism dan kewarganegaraan di empat lingkup sosial di Yogyakarta. Di Ketiga lingkup pertama (agama), organisasi civic, dan politik mempertegas kea rah upaya memperkuat interaksi pluralis. Bisnis wacana dan praktek pluralism dan partisipasi menghadapi tantangan besar yang sampai sekarang belum terpecahkan.

Kesimpulan
              Kisah tentang Yogyakarta itu dimulai dengan usaha seorang  pemimpin untuk melakukan moderenisasi terhadap institusi-institusi tradisional untuk memfasilitasi munculnya “institusi-institusi kerangka kerja publik baru bagi kerja sama, inovasi, dan tradisi partisipasi sipil yang terbukti kondusif bagi pluralism dan partisipasi sosial yang lebih nyata.
              Peningkatan tradisi yang banyak membuahkan hasil. Sebagaimana digambarkan dalam usaha-usaha dibidang agama, organisasi sipil, dan politik mengarah ke pola pluralism dan partisipasi kewarganegaraan yang lebih seragam dan konsensual. Dengan menggunakan sumber-sumber lokal maupun eksternal, para pemimpin Interfidei, Rifka Annisa, dan PAN mampu merintis mediasi-mediasi sadar dan sistematik yang memperkuat budaya pluralisme.
              Wacana-wacana dan praktek-praktek bisnis masih harus berkembang dengan cara pluralis yang tidak ambigu. Sumber-sumber sosial yang dikembangkan sejak 1940-an mempunyai impak pada lingkup agama, sosial, dan politik ketimbang lingkup ekonomi.
              Mengingat semua itu, bagaimana masa depan pluralism dan kewarganegaraan di Yogyakarta. Dalam lingkup agama, organisasi sipil, dan politik, kemajuan kea rah wacana-wacana dan praktek-praktek kewarganegaraan yang lebih pluralis bisa diharapkan. Ini adalah bidang-bidang di mana tanda-tanda kebudayaan dan organisasi-organisasi pluralis tampak paling menjanjikan. Tetapi inisiatif-inisiatif baru dan lebih berani di sektor bisnis masih sangat dibutuhkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar