Resensi Buku “Mohtar Mas’oed, S. Rizal Panggabean, dan Muhammad
Najib Azca”
Identitas Buku
Judul :
Sumber-sumber Sosial bagi Sivilitas dan Partisipasi : Kasus Yogyakarta, Indonesia
Penulis :
Mohtar Mas’oed, S. Rizal panggabean, dan Muhammad Najib Azca
Isi Pokok :
Ini
adalah kisah tentang Yogyakarta, orang- orangnya, dan kebudayaannya. Di daerah
kecil ini, menampung sebuah komunitas tradisi-tradisi jawa. Yogyakarta
melestarikan sebuah warisan cultural yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di
masa lampau, anak-anak Yogya dibesarkan di dunia yang sarat dengan folklore dan
mitologi. Kebanyakan masyarakat Yogya percaya dengan dua dongeng yaitu suatu
legenda yang bercerita tentang kemakmuran akan dating pada komunitas yang
orangnya mampu menyatukan air Sungai Progo dengan Sungai Opak. Dongeng yang
kedua, menyangkut roh-roh agung yang menghuni Gunung Merapi. Orang percaya
bahwa kesuksesan raja-raja Jawa tergantung pada kemampuan si penguasa untuk
selalu mempertimbangkan kekuatan-kekuatan magis. Nilai moral yang ada pada
cerita tersebut yaitu sebuah komunitas yang makmur dan damai bisa tercapai
hanya jika orang-orangnya siap untuk hidup berkelompok demi kepentingan
bersama.
Awal
1950-an, Yogyakarta diberi status administrasi istimewa dalam Republik
Indonesia dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan daerah ini
dipandang sebagai sebuah komunitas yang memadukan ketenangan dengan dinamisme.
Di satu pihak Yogyakarta digambarkan sebagai orang-orang yang mempunyai
komitmen pada tradisi kesabaran, ketenangan, dan moderasi. Mereka sangat
menjunjung tinggi kebudayaan Jawa. Di pihak lain, sejak jaman revolusi
Yogyakarta mengisyaratkan dinamisme.
Peranan
istimewa yang dimainkan oleh Yogyakarta selama gerakan reformasi menentang
presiden Suharto pada akhir 1990-an. Sejak orde baru banyak terjadi
insiden-insiden seperti pembunuhan missal, penjarahan, dan penghancuran kota di
Indonesia.
Di
Yogyakarta terdapat kultur politik yang dikembangkan oleh komunitas masyarakat
Yogya itu sendiri. Dalam kultur politik tersebut terdapat tiga fokus. Pertama,
meneliti sejarah perubahan sosial di Yogyakarta dengan menyederhanakan hubungan
antara wacana-wacana dan praktek-praktek pluralism dan partisipasi civic di
Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengembangkan sebua politik
baru dan melahirkan sebuah tradisi toleransi dan akomodasi. Kedua, meneliti
pengalaman hubungan horizontal di kelompok manusia Yogyakarta yang berlainan di
empat lingkup social, yaitu aktivitas keagamaan, LSM, asosiasi civic lainnya,
organisasi politik, dan bisnis. Dari penelitian ini menggambarkan wacana-wacana
dan praktek kewarganegaraan dalam kehidupan nyata.
Revolusi dari atas
Sebagai
situs Kesultanan Hamengku Buwono, Yogyakarta sekarang menunjukkan pengaruh
besar dari inisiatif-inisiatif politis dari dua pemimpin terakhir dari keluarga
kerajaan ini. Ada dua inisiatif politik kesultanan yang pantas disebut
khusus. Pertama, keputusanpenting Sultan
Hamengku Buwono IX pada pertengahan 1940-an untuk mendukung proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Inisiatif kedua, langkah kritis dari keturunan dan
penggantnya, Sultan Hamengku Buwono X, pada akhir 1990-an untuk bergabung
dengan kepemimpinan gerakan reformis menentang rezim Orde Baru yang otoriter.
Dari
berbagai inisiatif yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta ini terdapat
langkah-langkah pembaharuan di empat bidang yaitu pembaharuan nasionalisme,
populisme, demokrasi, dan moderenisasi. Salah satu ciri menarik dari
pembaharuan itu adalah pelembagaan demokrasi dalam politik dan pemerintahan
daerah. Di antara berbagai skema pembaharuan sultan, tak ada yang memicu
perubahan sosial yang lebih mendalam dan langgeng dari diperkenalkannya
pendidikan missal sebagai instrument utama modernisasi sosial. Dan inisiatif
yang diambil oleh sultan pada akhir Agustus 1945 memberikan sumbangan lebih
jauh pada transisi Yogyakarta menuju komunitas yang lebih terbuka.
Revolusi Kebudayaan
Beberapa
ilustrasi akan disajikan untuk merasakan pengaruh revolusi kebudayaan ini. Ada
beberapa kasus dari proses dinamika sosial yang mendorong masyarakat Yogyakarta
menuju kebudayaan yang lebih terbuka dan toleran:1) komunitas seniman yang
memperkenalkan kebudayaan kosmopolitan pada Yogyakarta, 2) munculnya sebuah
kota universitas yang dinamis di wilayah itu, 3) proses akulturasi yang muncul
dari pengaturan-pengaturan perumahan mahasiswa.
Karya
kreatif komunitas seniman baru Yogyakarta mengilustrasikan aspek kultural dari
kosmopolitanisme yang semakin berkembang di kota itu. Studio-studio dan
lokakarya yang dimunculkan pad 1940-an merupakan embrio bagi pertumbuhan
jaringan sekolah-sekolah dalam musik, tari, seni pertunjukan, dan seni-seni
lain. Banyak orang lokal yang menyumbang pada proyek akulturasi yang
menciptkan aneka karya inovatif,
khususnya di bidang lukisan batik, tari Jawa, dan wayang kulit.
Ekspresi
dari adanya kosmopolitan itu melibatkan
ekspansi yang mantap dari ikatan-ikatan transnasional selama 50 tahun terakhir.
Bersama universitasnya Yogyakarta telah mengmbangkan sebuah komunitas
ekspatriat sebagai peneliti, guru, mahasiswa, manajer proyek, dan penyedia jasa
bagi aneka universitas Yogyakarta.
Contoh lain dari proses-proses yang mendorong Yogyakarta ke arah
kebudayaan yang pluralis dan toleran menyangkut hal sepele, yaitu pengaturan
perumahan bagi para mahasiswa. Fasilitas-fasilitas pendidikan Yogyakarta yang
sangat bagus menarik gelombang mahasiswa muda “pendatang” dari seluruh
Indonesia.
Salah
satu fasilitas yang disediakan di daerah ini yaitu adanya asrama bagi mahasiswa
pendatang. Dari ekspansi tempat tinggal seperti ini, yang terlepas dari
pengaruh budaya Jawa tinggi dan yang memiliki rasa multietnis yang hidup,
membantu menjelaskan mengapa pada 1980-an hanya ada konflik etnis di kota
Yogyakarta. Sejarah tempat hunian dan politis ini adalah konteks yang
memunculkan kontemporer. Konteks inilah yang menyaksikan pengembangan dan
penyebaran sebuah kebudayaan pluralism dan toleransi baru.
Empat Lingkup Wacana dan Praktek
Pluralisme
Bidang Keagamaan : Menciptakan Sebuah “Platform
Bersama” bagi Aneka Umat Beragama
Tradisi
reformasi dalam komunitas-komunitas keagamaan Yogyakarta, khususnya komunitas
Muslim, mempunyai akar-akar historis yang mendalam. Pada awal abad ke-20,
sekelompok sarjana muda pulang belajar Islam di Mekah dengan membawa sebuah
pemahaman baru mengenai agama dan memperbarui praktek-praktek keagamaan di
antara sesama Muslim yang mereka anggap menyimpang, mistis, atau klenik.
Semangat
reformis yang dikembangkan oleh kelompok diskusi baru yang diorganisir oleh
para intelektual muda di Yogyakarta pad 1970-an. Sementara itu, komunitas
Kristen Yogyakarta menyaksikan perhatian yang terus berkembang pada teologi
pembebasan, nilai-nilai pluralis, dan dialog antar kepercayaan. Pada 1992,
kelompok-kelompok diskusi Yogyakarta (Muslim dan Kristen) bersatu untuk
menciptakan sebuah institusi yang mengadvokasikan dialog antar-iman, yang
disebut Interfidei. Sebuah kelompok pluralitas meliputi orang-orang dari
berbagai latar belakang keagamaan yang berlainan, Interfidei bertindak sebagai
sebuah institusi penengah dan mengawalai dialog antar-iman melalui lokakarya,
seminar,dan penerbitan di Yogyakarta dan propinsi-propinsi lain.
Bidang Civic : Berorganisasi bagi Kaum
Perempuan
Buah
lain dari kebudayaan kosmopolitan Yogyakarta, dan khususnya inisiatif-inisiatif
neo-modernis masa 1970-an, sekelompok aktivis muslim. Sebagai pusat krisis
perempuan pertama di Indonesia, Rifka Annisa membangun kesadaran mengenai
kekerasan terhadap perempuan. Para perempuan yang terlibat dalam gerakan
Aisiyah Muhammadiyah. Rifka Annisa menunjukkan ketrampilan hebat dalam
menyebarluaskan ide-ide, termasuk pamphlet, brosur, dan buku. Dari inisiatif
ini diharapkan mampu meningkatkan partisipasi civic melinyasi spectrum
komunitas yang luas, termasuk orang-orang dari berbagai latar belakang etnis
dan religius yang berlainan.
Bidang Politik : Mengatasi Politik
Konvensional
Wacana
tentang sivititas yang dikembangkan pada 1970-an dan diimplementasikan pada
1980-an memberikan latar belakang bagi
usaha-usaha baru untuk mengembangkan sebuah politik yang lebih
pluralistis yang mampu melakukan mobilisasi pendukung etnoreligius yang
berlainan. Pada awal 1990-an pemimpin muda, Mohammad Amien Rais, memecahkan
sebuah tabu politik. Amien Rais mendirikan partai politik pada 1998 untuk
mengerahkan dukungan dari kelompok etnoreligius yang berlainan. Partai amanat
nasional (PAN), kelompok baru ini mempersatukan kelompok kecil seperti Katolik,
Kristen, Hindu, Cina dll.
Bidang Ekonomi : Menjembatani Jurang
Etnis
Dipandang
dari stereotip-stereotip yang tersebar luas di Indonesia. Awal 1980-an, Budi
seorang Indonesia keturunan Cina konvensional. Ia mempunyai aktivitas bisnis
yang mengandalkan koneksi keluarga dan kerabat. Kepercayaan agamanya didasarkan
pada ajaran Konfusian. Budi adalah contoh tentang kesulitan-kesulitan yang
berusaha menjembatani kesenjangan ekonomi antara Cina dan pribumi di Indonesia.
Usaha-usaa Budi untuk menjembatani kesenjangan ekonomis itu tidak terjadi di
sebuah vakum sosial. Aksi-aksinya mencerminkan situasi dan kondisi tertentu
khas Yogyakarta dan Jawa. Orang-orang Indonesia keturunan Cina yang hidup dalam
lingkungan budaya Jawa berperilaku lain yang hidup dalam lingkup budaya lain.
Keempat kasus yang dibahas di atas mengisyaratkan wacana-wacana dan praktek
yang kompleks dari pluralism dan kewarganegaraan di empat lingkup sosial di
Yogyakarta. Di Ketiga lingkup pertama (agama), organisasi civic, dan politik
mempertegas kea rah upaya memperkuat interaksi pluralis. Bisnis wacana dan
praktek pluralism dan partisipasi menghadapi tantangan besar yang sampai
sekarang belum terpecahkan.
Kesimpulan
Kisah tentang Yogyakarta itu
dimulai dengan usaha seorang pemimpin
untuk melakukan moderenisasi terhadap institusi-institusi tradisional untuk
memfasilitasi munculnya “institusi-institusi kerangka kerja publik baru bagi
kerja sama, inovasi, dan tradisi partisipasi sipil yang terbukti kondusif bagi
pluralism dan partisipasi sosial yang lebih nyata.
Peningkatan
tradisi yang banyak membuahkan hasil. Sebagaimana digambarkan dalam usaha-usaha
dibidang agama, organisasi sipil, dan politik mengarah ke pola pluralism dan
partisipasi kewarganegaraan yang lebih seragam dan konsensual. Dengan
menggunakan sumber-sumber lokal maupun eksternal, para pemimpin Interfidei,
Rifka Annisa, dan PAN mampu merintis mediasi-mediasi sadar dan sistematik yang
memperkuat budaya pluralisme.
Wacana-wacana
dan praktek-praktek bisnis masih harus berkembang dengan cara pluralis yang
tidak ambigu. Sumber-sumber sosial yang dikembangkan sejak 1940-an mempunyai
impak pada lingkup agama, sosial, dan politik ketimbang lingkup ekonomi.
Mengingat
semua itu, bagaimana masa depan pluralism dan kewarganegaraan di Yogyakarta.
Dalam lingkup agama, organisasi sipil, dan politik, kemajuan kea rah
wacana-wacana dan praktek-praktek kewarganegaraan yang lebih pluralis bisa
diharapkan. Ini adalah bidang-bidang di mana tanda-tanda kebudayaan dan
organisasi-organisasi pluralis tampak paling menjanjikan. Tetapi
inisiatif-inisiatif baru dan lebih berani di sektor bisnis masih sangat
dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar