Minggu, 22 Mei 2016

KASUS PERBATASAN DI INDONESIA



KASUS PERBATASAN DI INDONESIA
Hasil gambar untuk GAMBAR MASALAH PERBATASAN  Hasil gambar untuk GAMBAR MASALAH PERBATASAN


“Analisis Ancaman Terhadap Isu Klaim China Atas Kepulauan Natuna Terkait Konflik Laut China Selatan”
Oleh:
Ryan Muhammad, S.H[1]
Lingkar Studi Strategis (LINGSTRA)
Jakarta – Indonesia


[1] Wakil Direktur Lingkar Studi Strategis (LINGSTRA). Mahasiswa Program Studi Peperangan Asimetris (Cohort 3), Fakultas Strategi Pertahanan, Pascasarjana Universitas Pertahanan Indonesia. Mahasiswa Peminatan Kajian Stratejik Intelijen (Angkatan XIV), Program Studi Ketahanan Nasional, Pascasarjana Universitas Indonesia.

Abstrak
Dinamika konflik laut cina selatan yang melibatkan beberapa negara seperti China, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah membawa implikasi terhadap stabilitas kawasan. Eskalasi konflik tersebut juga berdampak meluas hingga berpotensi mengganggu kepentingan nasional negara-negara yang bahkan tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut. Pemberitaan mengenai isu klaim China atas kepulauan Natuna juga semakin memperkeruh permasalahan yang telah terjadi di kawasan tersebut. Meskipun kebenaran dari pemberitaan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini, namun isu klaim China atas kepemilikan kepulauan Natuna patut disikapi dan diantisipasi oleh Pemerintah RI karena menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Pengukuran skala ancaman dengan menggunakan metode analisis intelijen “Hank Prunckun” memberikan hasil akhir yang menunjukkan bahwa skala ancaman yang dihadapi oleh Indonesia terkait isu klaim China atas kepulauan Natuna tergolong “sedang” bagi Indonesia. Analisis ancaman tersebut dilakukan guna memberikan rujukan akademis bagi Pemerintah RI dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri guna ­­merespon isu tersebut sebagai upaya cegah dini (early warning).
  1. Pendahuluan
Konflik laut cina selatan merupakan isu keamanan regional yang hingga kini masih belum mencapai titik penyelesaian, serta rawan mengganggu stabilitas kawasan di masa yang akan datang. Sengketa perairan yang menyangkut kedaulatan wilayah perairan negara-negara di wilayah kawasan laut cina selatan ini diawali oleh klaim sepihak negara China yang memperluas wilayah perairannya hingga menjangkau wilayah perairan Filipina, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Klaim negara China tersebut telah menimbulkan reaksi yang cukup keras dari negara-negara di sekeliling laut cina selatan yang dianggap telah mengancam kedaulatan dan merugikan kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat dalam konflik laut cina selatan tersebut.
Sengketa kepemilikan kedaulatan territorial di laut cina selatan sesungguhnya merujuk kepada wilayah kawasan laut dan daratan di dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly. Negara-negara kawasan yang terlibat dalam konflik laut cina selatan pada umumnya menggunakan dasar historis dan geografis dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan di wilayah laut cina selatan. China misalnya, mengklaim wilayah sengketa tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian Pemerintah China mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan China atas laut cina selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine-Dashed Line” (Nainggolan, 2013, p. viii). Begitu pun dengan negara Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang dalam hal ini juga mengklaim bahwa sebagian wilayah laut cina selatan masuk ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tersebut berdasarkan pendekatan geografis yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Negara-negara yang bersengketa dalam konflik laut cina selatan kerap kali terlibat dalam bentrokan fisik dengan menggunakan kekuatan militernya masing-masing. Upaya-upaya konfrontatif dalam memperjuangkan klaim atas kepemilikan wilayah laut cina selatan dari masing-masing negara yang terlibat dalam konflik laut cina selatan semakin memperkeruh dan mengganggu stabilitas kawasan, bahkan berpotensi berdampak kepada mengganggu kepentingan negara-negara di sekitar kawasan yang justru tidak terlibat secara langsung dalam konflik laut cina selatan, seperti Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Adapun 3 (tiga) hal yang menjadi alasan utama mengapa negara-negara yang terlibat dalam konflik laut cina selatan seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia saling berkepentingan dalam memperebutkan wilayah kawasan laut dan daratan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly di laut cina selatan. Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di laut cina selatan mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah perairan laut cina selatan merupakan wilayah perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara seperti China dan negara-negara di kawasan laut cina selatan, bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah laut cina selatan yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara (Nainggolan, 2013, pp. x-xi).
Perkembangan konflik laut cina selatan kini semakin meluas dan berimplikasi kepada permasalahan yang dianggap lebih krusial menyangkut ancaman terhadap kedaulatan territorial Indonesia. Dalam perkembangannya, terdapat pemberitaan mengenai klaim China atas perairan dan kepulauan Natuna yang saat ini masuk ke dalam rincian peta kedaulatan territorial terbaru negara China (NBC Indonesia, 2015). Sebagaimana telah kita ketahui, perairan dan kepulauan Natuna merupakan bagian integral dari kedaulatan territorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang wilayahnya berada di dalam 12 Mil laut territorial Indonesia yang telah diakui oleh PBB sejak lama dan diperkuat oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Klaim negara China atas perairan dan kepulauan Natuna dianggap tidak berdasar, karena posisi wilayah kepulauan Natuna berada di sekitar lebih 400 Mil dari jarak kepulauan Spratly yang selama ini diklaim oleh China sebagai wilayah teritorialnya (Okezone, 2015).
Namun pemberitaan perihal klaim China atas perairan dan kepulauan Natuna telah dibantah oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, yang mengutip pernyataan dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China yang menyatakan bahwa kepemilikan perairan dan kepulauan Natuna adalah mutlak milik Indonesia. Pernyataan Menteri Luar Negeri RI tersebut ditanggapi oleh pakar hukum tata negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra, yang berpendapat berbeda soal klaim China atas kepulauan Natuna. Ia berpendapat bahwa pernyataan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China hanyalah sebatas bahasa diplomatik, peta resmi yang dikeluarkan oleh China justru menyatakan hal yang sebaliknya. Ia juga menyatakan bahwa pernyataan Juru Bicara Menteri Luar Negeri tidak dapat dikatakan sebagai pernyataan resmi mewakili pemerintah China, karena pernyataan tersebut bukan dinyatakan sendiri oleh Presiden maupun Menteri Luar Negeri China.
Akan tetapi, meskipun pemberitaan terkait dengan isu klaim China atas perairan dan kepulauan Natuna masih menjadi perdebatan hingga saat ini, namun perlu dilakukan suatu kajian dan analisis mendalam guna memberikan gambaran dan penjelasan mengenai potensi ancaman yang dihadapi oleh Indonesia terkait isu klaim China atas kepulauan Natuna. Tajuk utama dalam pembahasan kajian ini akan berfokus kepada menganalisis ukuran ancaman yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam menyikapi atau merespon isu klaim China atas sebagian wilayah kedaulatan territorial Indonesia, yaitu perairan dan kepulauan Natuna.




Tanggal          : 15 April 2016
Sumber           : Lingstra,Jakarta Indonesia, Kompas
Judul Artikel : Analisis Ancaman Terhadap Isu Klaim China Atas Kepulauan Natuna Terkait Konflik Laut China Selatan Melalui Metode Analisis Intelijen “Hank Prunckun”
Isu                   : Konflik di Perairan Natuna berupa ancaman klaim China atas pulau Natuna.
Pemeran utama: Kapal Indonesia vs China
Pendapat/sudut pandang pengarang (rangkuman dgn singkat):
Dinamika konflik laut cina selatan yang melibatkan beberapa negara seperti China, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah membawa implikasi terhadap stabilitas kawasan. Eskalasi konflik tersebut juga berdampak meluas hingga berpotensi mengganggu kepentingan nasional negara-negara yang bahkan tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut. Pemberitaan mengenai isu klaim China atas kepulauan Natuna juga semakin memperkeruh permasalahan yang telah terjadi di kawasan tersebut. Meskipun kebenaran dari pemberitaan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini, namun isu klaim China atas kepemilikan kepulauan Natuna patut disikapi dan diantisipasi oleh Pemerintah RI karena menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia yang patut diantisipasi oleh Pemerintah RI. Pengukuran skala ancaman dengan menggunakan metode analisis intelijen “Hank Prunckun” memberikan hasil akhir yang menunjukkan bahwa skala ancaman yang dihadapi oleh Indonesia terkait isu klaim China atas kepulauan Natuna tergolong “sedang”, dalam hal ini skala ancamannya tidak tinggi dan tidak pula rendah bagi Indonesia.
Sehingga dalam mengantisipasi ancaman yang datang dari isu tersebut, Pemerintah RI diharapkan mampu meningkatkan kemampuan diplomasi dan membuat kebijakan politik luar negeri yang dapat meredam intensi atau niat China dalam melakukan klaim atas kepulauan Natuna, meskipun China dengan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia saat ini memiliki kapabilitas atau kemampuan dalam upaya merebut kepulauan Natuna dari wilayah kedaulatan Indonesia. Peningkatan kerjasama dan kemitraan strategis dengan China di bidang politik dan ekonomi merupakan langkah konkrit yang dapat ditempuh oleh Pemerintah RI guna meredam intensi China dalam melakukan klaim terhadap kepulauan Natuna yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Besarnya nilai investasi dan bisnis China sebagai salah satu negara investor terbesar di Indonesia selama ini akan menjadi salah satu faktor yang dapat meredam intensi China dalam upaya mengklaim kepulauan Natuna, karena jika China tetap bersikukuh ingin merebut kepulauan Natuna dari wilayah kedaulatan Indonesia, akan menimbulkan reaksi keras dari Pemerintah Indonesia dalam bentuk pemboikotan, pencabutan, dan penutupan seluruh investasi dan bisnis China di Indonesia, dan akan berdampak kepada terganggunya stabilitas ekonomi dan kepentingan nasional China.
Selain itu, peningkatan anggaran pertahanan merupakan salah satu langkah konkrit yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia dalam upaya memperkuat kekuatan militer Indonesia demi mewujudkan daya tangkal (deterrence) dan meningkatkan posisi tawar (bargaining position) yang tinggi dalam percaturan politik regional maupun global dalam rangka balancing power.

Pendapat saya terkait konflik perairan Natuna yaitu :
Disini saya akan menanggapi konflik Natuna dilihat dalam tinjauan Politik dan Pertahanan
Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di tengah Laut China Selatan menjadi sumber konflik kedaulatan Republik Indonesia. Isu tersebut muncul setelah awal pekan ini Presiden Joko Widodo mengkritik peta Republik Rakyat China yang memasukkan daerah kaya gas alam itu dalam wilayahnya.Seorang analis politik Victor Robert Lee mengatakan bahwa konflik antara pemerintah Indonesia dan Cina di kepulauan Natuna bermula ketika China secara sepihak pada 2009 menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya. Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia marah. Padahal RI sebenarnya berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan. Setelah dilakukan penelitian ternyata klaim yang membuat repot enam negara ini dipicu oleh kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan. China sejauh ini telah bersengketa sengit dengan Vietnam dan Filipina akibat klaim mereka di Kepulauan Spratly.
Ketegangan yang terjadi di Natuna semakin mencekam. Semenjak insiden tepergoknya Kapal Motor Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan Natuna, Sabtu (19/03/2016).Kementerian Kelautan dan Perikanan mendeteksi kapal nelayan Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai (coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap operasi gabungan Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL. Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu. Tak sekadar memperketat pengawasan, mereka bahkan berencana memperkuat posisi militer di perairan tersebut. Langkah itu dilakukan demi menegakkan kedaulatan NKRI di lautan khususnya Natuna.
Kesimpulan
Konflik laut cina selatan merupakan isu keamanan regional yang hingga kini masih belum mencapai titik penyelesaian, serta rawan mengganggu stabilitas kawasan di masa yang akan datang. Sengketa perairan yang menyangkut kedaulatan wilayah perairan negara-negara di wilayah kawasan laut cina selatan ini diawali oleh klaim sepihak negara China yang memperluas wilayah perairannya hingga menjangkau wilayah perairan Filipina, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Klaim negara China tersebut telah menimbulkan reaksi yang cukup keras dari negara-negara di sekeliling laut cina selatan yang dianggap telah mengancam kedaulatan dan merugikan kepentingan nasional masing-masing negara yang terlibat dalam konflik laut cina selatan tersebut.
Sengketa kepemilikan kedaulatan territorial di laut cina selatan sesungguhnya merujuk kepada wilayah kawasan laut dan daratan di dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly. Negaranegara kawasan yang terlibat dalam konflik laut cina selatan pada umumnya menggunakan dasar historis dan geografis dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan di wilayah laut cina selatan. China misalnya, mengklaim wilayah sengketa tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian Pemerintah China mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan China atas laut cina selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine-Dashed Line”.
Tiga hal yang membuat Laut China Selatan menjadi wilayah perairan yang rawan konflik besar dewasa ini dan masa datang. Pertama, Laut China Selatan adalah sebuah kawasan perairan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang kaya, terutama minyak dan sumber energi lainnya, dengan beberapa gugusan pulau, yang tersebar di sekitarnya, yang menjadi perebutan saling klaim beberapa negara di sekeliling kawasan, seperti China (Republik Rakyat China –RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kedua, karena letaknya yang berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, salah satu yang paling sibuk di dunia, dan merupakan jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia dan Amerika ke Asia dan sebaliknya, melalui wilayah perairan Negara-negara paling sedikit di 3 kawasan penting, yakni Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia-Pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak di sekitar Laut China Selatan tersebut, seperti Indonesia dan Singapura, bahkan Amerika Serikat (AS), berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia, terutama China, dan sebaliknya pertumbuhan yang menurun terus di Eropa dan AS, membuat banyak negara berupaya memperoleh kontrol atas atau memperebutkan kawasan perairan yang strategis dan dinamis itu, yakni Laut China Selatan.
Namun hal yang paling penting dalam isu konflik di kepulauan Natuna ini adalah potensi ancaman bagi pemerintah Indonesia atas klaim pemilikan China terhadap kepulauan Natuna tersebut, karena isu tersebut menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 SUMBER :
Badan Intelijen Negara. (2014). Menyongsong 2014-2019 Memperkuat Indonesia dalam Dunia yang Berubah. (M. A. Hikam, Ed.) Jakarta: CV. Rumah Buku.
CNN Indonesia. (2015, 10 5). Manuver TNI Bentengi Natuna di Tepi Laut Sengketa. Retrieved 12 23, 2015, from cnnindonesia.com: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004161227-20-82688/manuver-tni-bentengi-natuna-di-tepi-laut-sengketa/
Detik News. (2015, 6 8). Mengukur Kekuatan Tiongkok Alias China: Calon Bos Dunia. Retrieved 12 23, 2015, from detik.com: http://news.detik.com/kolom/2936068/mengukur-kekuatan-tiongkok-alias-china-calon-bos-dunia
Kompas. (2015, 11 20). KSAU: Lanud Pulau Natuna Dicita-citakan Jadi Pearl Harbor Indonesia. Retrieved 12 23, 2015, from kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2015/11/20/15195941/KSAU.Lanud.Pulau.Natuna.Dicita-citakan.Jadi.Pearl.Harbor.Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar