Minggu, 22 Mei 2016

PERMASALAHAN DAN SENGKETA TANAH DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA


PERMASALAHAN DAN SENGKETA TANAH DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA


   



·            Penyebab Permasalahan
Kasus sengketa Meruya disebabkan karena adanya carut-marut hokum pertanahan di Indonesia. Sengketa tanah meruya selatan antara warga (H.Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh. Yatim Tugono) dengan PT. Portanigra pada tahun 1972-1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Walaupun sengketa tanah ini terjadi 30 tahun yang lalu, namun proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudsh mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik.

Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan dalam masalah ini.  Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT. Portanigra, namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hamper 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya tanah milik warga, tanah milik Negara yang diatasnya terdapat fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Setelah dilakukannya eksekusi pada tahun 2007, sekarang warga meruya sudah mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan Badan Pertahanan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksingkronan dan kesemrawutan hokum pertanahan Indonesia yang denganmudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih bersengketa.
Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996).  Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu singkat. Selama itu sudah ada yang berubah dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, maka dari itu, warga meruya merasa menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.
·                     Akibat Masalah
Akibat dari kasus tersebut, konflik anatara warga meruya dan PT. Portanigra  semakin mencuat yaitu karena adanya, kesemrawutan hukum pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertahanan Tanah (BPN) yang bias menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahannya sudah ditempati oleh warga meruya dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ini ada mafia tanah yang terlibat.
·      Penyelesaian Kasus Sengketa Tanah Meruya
Pihak PT. Portanigra bernegosiasi dengan warga yang dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat asli. Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bias mengelola lahan kosong sehingga tidak mengganggu warga dan kampus mercu buana, sedangkan meruya sudah tenang karena sudang membeli langsung hak  kepemillikan tanah ke Portanigra.
·      Untuk meminimalisir kasus tersebut upaya  yang bisa di lakukan sebagai warga Negara yang baik yaitu :
Dapat mengambil atau memetik pelajaran dari kasus tersebut dengan tidak membiarkan masalah menjadi berlarut-larut, jika pihak yang bersengketa tahu jika tanah yang mereka tempati memang bukan hak miliknya, harusnya mereka mengikhlaskan tanah itu menjadi hak milik orang yang mempunyaik sertifikat asli tanah tersebut. Dan jika terdapat kasus seperti ini lagi, dapat diselesaikan baik-baik dengan jalan musyawarah mufakat untuk mencapai solusi yang dilandasi akal sehat merupakan penyelesaian yang baik daripada saling menyalahkan secara emosional. Kasus meruya ini juga member pembelajaran tentang proses hokum yang tidak boleh berlarut-larut, pentingnya sertifikat kepemilikan tanah, tentang pelaksanaan pengadilan yang berkeadilan, dan juga perlunya kerja sama antara pengadilan dan lembaga Negara yang menangani masalah pertanahan.









1.      Kasus Tanah Teluk Jambe Karawang, BPN tidak tegas
·         Penyebab Permasalahan
Perseteruan tanah  sengketa tanah sejak tahun 1990 antara ratusan warga yang menguasai dan menduduki tanah Negara eks NV Tegal Waroe di Teluk Jambe, Karawang yang memiliki alas hak berupa girik, Letter C, SK Redistribusi oleh Pemerintah tahun 1964. Warga sudah memiliki SHM  berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat itu berhadapan melawan PT Sumber Air Mas Pratama sampai kini masih menggantung. Padahal sejak tahun 1949 secara fisik lahan ini dikuasai masyarakat secara turun temurun. Sedangkan PT. Samp tidak pernah bayar pajak. PT Samp bahkan tidak tahu lokasi dan batas-batas lahan yang diakui miliknya.  
Sengketa ini berawal ketika pada 30 mei 1990 PT. Makmur Jaya Utama melakukan perjanjian pengoperan hak garapan kepada PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) cq Sdr. Tommy Kartawinata dihadapan Notaris Ny. Muljani Syafe’I, SH di Bogor, atas lahan garapan seluas 582 Ha yang terletak di desa margamulya Kecamatan Teluk Jambe Kab. Karawang Jawa Barat.
·         Akibat Masalah
Dari kasus tersebut, terjadi klaim atas hak milik tanah tersebut yang dilakukan oleh warga Teluk Jambe terhadap PT Samp karena mereka dituding telah menelantarkan tanah. Untuk menindaklanjuti kebenaran pihak mana yang memiliki hak milik atas tanah tersebut PT. Samp mengajukan permohonan HGU atas tanah Negara eks NV Tegal Waroe Laden kepada BPN Kab. Karawang  dengan menggunakan akta Notaris yang dibuat dihadapan Notaris Ny. uMuljani di Bogor yaitu, Akta perjanjian pengoperan hak garap dari PT MJU. Dan dibawah tangan, penyerahan tanah garapan dari PT Dasa Bagja PT DB kepada PT MJU dan sejumlah SPH yang isinya sama sekali palsu, karena subyek dan obyeknya tidak jelas.
·         Untuk meminimalisir kasus tersebut upaya  yang bisa di lakukan sebagai warga Negara yang baik yaitu :
Jika terjadi perseteruan semacam kasus ini, hendakanya diselesaika berdasarkan proses hukum yang berlaku di Negara kita. Tidak main hakim sendiri atau mengadili kasus tersebut tanpa memiliki alas an yang jelas atas hak kepemilikan tanah tersebut. Tidak swenang-wenang dalam menyelesaikan suatu persoalan yang menyangkut hidup orang banyak, karena masalah ini berhadapan dengan warga masyarakat  hendaknya diselesaikan dengan aturan atau prosedur hukum yang ada Negara kita.

2.      Sengketa Tanah dan Kasus Hibah Tanah Desa Hilidundra (Pertapakan Kantor Bupati Nias Utara)
·         Penyebab Permasalahan
Permasalahan tanah pertapakan kantor Bupati Nias Utara yang mencuat beberapa waktu terakhir ternyata telah dimulai sejak lama. 11 Agustus 2008 sebanyak 22 warga Desa Hilidundra meyerahkan tanah (hibah) kepada Pemerintah Kab. Nias seluas 15 Ha sebagai lokasi pertapakan pembangunan kantor Pemerintahan  Kab. Nias Utara tidak menandatangani surat hibah asli yang sampai saat ini masih tersimpan di Pemerintah Kab. Nias. 26 November 2008 Kab. Nias Utara ditetapkan melalui UU RI No 45 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kab. Nias Utara di Provinsi Sumatera Utara. Pada pasal 7 menegaskan bahwa Ibu kota Kab Nias Utara berkedudukan di Kecamatan Lotu. 2009-2011 Pemkab Nias Utara mengadakan pendekatan kepada Fatolosa Gea sebanyak 5 kali, tetapi gagal. Pembanguan kantor pemerintahan Kab. Nias Utara tidak dapat terlaksana karena tanah hibah yang berlokasi di Dusun II Mazingo, Desa Hilidundra, Kecamatan Lotu, sedang dalam masalah.
·         Akibat Masalah
Dari masalah pertapakan tanah ini terjadi keributan antar warga Desa Hilidundra dengan pertapakan Kantor Bupati Nias Utara. Warga Dsa Hilidundra melakukan aksi demo yang disertai keributan yang  berlangsung ricuh anatra warga melawan pihak Sdr. Fatolsa Gea. Masalah ini diduga  bahwa Sdr. Fatolosa Gea tidak bersedia menyerahkan tanahnya sehingga belum dapat dilanjutkan pemanfaatannya oleh Pihak Pemerintah Kab. Nias Utara. Setelah adanya keributan ini, pada 12 September 2012, Fatolosa Gea bersama dengan penghibah tanah lainnya menghadap Bupati Nias Utara menyerahkan surat pernyataan Fatolosa Gea bertanggal 8 Desember 2010, surat pernyataan tersebut berisi bahwa tanah yang telah dihibahkan oleh yang bersangkutan pada tahun 2008 sebagai lokasi pembangunan Kantor Bupati Nias Utara tidak bermasalah atau tidak dalam sengketa.   Setelah mengetahui jika tanah tersebut tidak bermasalah, maka Kantor Bupati Nias Utara tersebut akan dibangun pada tanah  milik Pemerintah Kab. Nias Utara yang tidak bermasalah yaitu di Desa Fadoro Fulolo, Kec. Lotu sebagaimana diusulkan pada pembahasan P-APBD Kab. Nias Utara th 2012 dan diharapkan dapat segera ditetapkan menjadi Perda Kab. Nias Utara.
·      Untuk meminimalisir kasus tersebut upaya  yang bisa di lakukan sebagai warga Negara yang baik yaitu :
Dari kejadian kasus Sengketa Tanah dan Kasus Hibah Tanah Desa Hilidundra (Pertapakan Kantor Bupati Nias Utara) dapat diambil sisi positifnya juga, karena dari pihak yang bersengketa itu hanya terjadi kesalahpahaman antara warga Desa Hilidundra, pihak Bupati itu sendiri, dan pihak Fatolosa Gea. Ternyata tanah yang dianggap bersengketa ini tidak bermasalah dan pihak Bupati Kab. Nias Jawa Barat dapat membangung kantor pertapakan Bupati di tanah tersebut yang berlokasi di Desa Fadoro Fulolo, Kec. Lotu. Dan untuk meminimalisir agar kasus-kasus sengketa tanah ini agar tidak terjadi kembali, hendaknya semua pihak yang bersangkutan atas hak tanah tersebut bermusyawaah dibicarakan dengan baik-baik, apakah tanah tersebut bermasalah atau tidak dan jika akan dibangun banguan diatasnya akan menimbulkan masalah atau tidak, karena kasus ini termasuk dalam penhibahan tanah.  Jadi semua pihak yang terkait didalamnya, baik itu warga desa setempat, Pemerintah daerah setempat dan pihak lainnya terkait kasus ini hendaknya dibicarakan baik-baik dan jika dalam musyawarah tersebut tidak mendapat jalan terang, maka serahkan masalah tersebut dengan pihak yang berwenang agar dapat diproses melalui jalan hukum. Selain itu juga dapat melalui BPN ( Badan Pertanahan Nasional) untuk mengetahui pihak mana yang memilik hak milik atas tanah tersebut dengan barang bukti yaitu pihak tersebut mempunyai sertifikat yang sah atas hak milik tanah tersebut.

3.      Sengketa Tanah antara Warga Desa Sumberanyar,Dusun Curah Timo, Pasuruan, Jatim dengan TNI AL
·         Penyebab Permasalahan
Sengketa tanah yang terjadi antara warga Desa Sumberanyar dan TNI AL ini terjadi karena pihak TNI AL mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga Sumberanyar sebagai milik mereka. Sementara TNI AL, yang diwakili Letkol Laut (P) Sa’ban Nur S, tetap akan menempati lahan tersebut sesuai dengan perintah Negara. “Pada intinya TNI AL itu tunduk pada Negara, jika Negara memberikan tempat latihan di Desa Sumberanyar, maka kami akan menempati Desa ini untuk tempat latihan kami, namun jika Pemerintah mermerintah kami untuk menempati tempat lain, kami aan menempati tempat lain sesuai perintah dari Negara”, kata Sa’ban usai gelar mediasi di Kantor Gubernur Jatim.
·      Akibat Permasalahan
Dari permasalahan klaim yang dilakukan piha TNI AL terhadap Warga Desa Sumberanyar ini mengakibatkan adanya belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta menyebabkan kesalahpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian, atau yang dikenal dengan istilah UUPA sebagai salah satu hukum pertanahan nasional. Pada dasarnya baik pihak TNI AL maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak.
·         Untuk meminimalisir kasus tersebut upaya  yang bisa di lakukan sebagai warga Negara yang baik yaitu :
Untuk mengindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.

4.      Sengketa Tanah antara warga Desa Harjokuncaran, Kab. Malang, Jatim dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya
·      Penyebab Permasalahan
Sengketa tanah yang terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan TNI ini disebabkan karena warga Desa Harjokuncaran mengklaim lahan tanah tersebut milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik Negara. Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 Ha. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitive pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 Ha yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Surat keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke Negara untuk pengambilan tanah tersebut. Akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut FFathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk surat keputusan Direktorat Jendral Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyek landreform yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran.  
·         Akibat Masalah :
Dari permasalahan sengketa tanah ini terdapat dampak buruk bagi kedua belah pihak, akibat dari peristiwa tersebut sebanyak 8 warga menjadi korban, dan 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala. Dari peristiwa tersebut harusnya warga desa Harjokuncaran dengan TNI menyelesaikan masalah tersebut dengan kepala dingin, tidak dengan kekerasan sampai menjatuhkan korban seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
·            Untuk meminimalisir kasus tersebut upaya  yang bisa di lakukan sebagai warga Negara yang baik yaitu :
Sengketa diatas merupakan sengketa tanah adat, jika terjadi maslah seperti kasus diatas, dapat diatasi dengan mendaftarkan hak atas kepemilikan tanahnya dan akan memperoleh sertifikat hak milik melalui prosedur konversi Hak Adat  (peraturan Menteri Pertanian dan Agraria). Jadi walaupun itu tanah adat maupun turun temurun dari nenek moyang, tetap harus berdasarkan hukum yang berlaku, karena Indonesia ini merupakan Negara hukum dan lebih kuat jika ada bukti hukum yang pasti seperti tanah atau akta tanah tersebut. Jadi untuk meminimalisir terjadinya masalah pertanahan tersebut dapat diminimalisir dengan membuat atau mendaftarkan hak milik atas tanahnya sehingga surat tanah tersebut dapat melindungi hak milik atas kepemilikan tanah, karena sertifikat atau akta tanah itu dapat member manfaat yaitu untuk kepastian hukum.