Sabtu, 14 Mei 2016

KASUS MAKAR



Mempersoalkan Status Kewarganegaraan Para Terdakwa Kasus Makar (Bagian 2)



 
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia telah memenuhi sejumlah syarat, yakni berdaulat atas rakyatnya, atas wilayahnya yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, dan memiliki pemerintahan yang sah (syarat primer), serta telah mendapatkan pengakuan dari negara lain (syarat sekunder).

Terkait hal itu, awal pekan lalu, seorang Wakil Rakyat dari Papua, Johannes Sumarto (Anggota DPRP) mengungkapkan kekecewaannya atas pernyataan tidak bijak seorang tokoh masyarakat dari Tanah Papua, yaitu Forkorus Yaboisembut (terdakwa kasus makar yang saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura) yang dalam sidang tersebut tidak mau mengakui bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

Forkorus bersama empat rekannya sesama pesakitan kasus makar itu secara tegas menyatakan bahwa mereka bukan Bangsa Indonesia, tetapi Bangsa Papua. Dan negara mereka adalah negara republik federasi Papua Barat (NRFPB) dimana Forkorus adalah presidennya.
Menurut Johanes Sumarto, hukuman bagi Forkorus dkk akan lebih ringan jika mereka mengakui sebagai WNI. Hal ini sangat menguntungkan bagi Forkorus Cs agar hukumannya bisa lebih ringan dari pada mengatakan bukan Warga WNI. Jika tidak, maka hukuman bagi mereka akan semakin berat karena telah melakukan tindakan makar di dalam NKRI, karena tanah Papua berada dalam wilayah kedaulatan NKRI.

Prinsip-prinsip dasar tentang Warga Negara Indonesia sebagaimana termaktud dalam pasal 26 UUD 1945 telah diulas pada bagian pertama tulisan sederhana ini. Intinya, demi integrasi bangsa Indonesia, konstitusi kita telah memberikan keleluasaan kepada para wakil rakyat untuk menjabarkannya secara lebih rinci melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.

Ambiguitas tentang orang Indonesia asli (dan tidak asli) telah terjawab dalam UU ini. Menurut undang-undang ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) antara lain (saya kutip beberapa saja) :
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU ini (sebelum tahun 2006) telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), 
    atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki
    kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada
    anak tersebut.
Description: 13296753802354025025. dst….

Adapun asas kewarganegaraan khusus yang terkandungdi dalam undang-undang ini (sebagaimana dimuat pada bagian Penjelasan Umum UU ini) meliputi, antara lain :
·         Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai Negara Kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri;
·         Asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap Warga NegaraIndonesi
mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
·         Asas non diskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan Warga Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender;
·         Asas publisitas, yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat mengetahuinya

Arti Penting Status Kewarganegaraan
Status kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaannya dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara. Oleh sebab itu, negara wajib melindunginya. Perlindungan yang dimaksud disini berdimensi HAM dan KAM (Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia). Selain itu, itu dalam dimensi Hukum Publik, status kewarganegaraan seseorang akan menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai Warga Negara harus tunduk dan patuh pada hukum-hukum negara sebagai manifestasi kehendak bersama dalam ikatan kontrak sosial yang merupakan prasyarat normatif terbentuknya Negara.

Konsekuensi hukum bagi Forkorus dkk
Maka bagi Forkorus dkk yang tidak mengakui statusnya sebagai WNI, tolong pikirkan sekali lagi untung-ruginya. Penolakan sebagai WNI tidak dengan sendirinya dapat membebaskan mereka dari tuntutan hukum, karena tindakan makar yang mereka lakukan terjadi di wilayah kedaulatan NKRI. Jika nantinya terbukti bersalah melakukan makar, maka otomatis mereka akan menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Jika selama sekian tahun menjadi penghuni LP ternyata tidak juga membuat mereka sadar dan insyaf, (artinya mereka tetap tidak mengakui statusnya sebagai WNI), inilah konsekwensinya setelah mereka lepas dari LP nanti :
Jika tertangkap di wilayah kedaulatan Indonesia (termasuk di Papua), maka dalam waktu 48 jam, Forkorus dkk harus meninggalkan wilayah tersebut.
Forkorus dkk tidak memiliki kekebalan hukum terhadap masalah-masalah mereka. Justru sebaliknya mereka akan didisportasikan ke negara asalnya (yang entah dimana itu persisnya).
Tidak ada lagi perlindungan hukum atas hak -hak dan kewajiban sipil mereka beserta keluarganya, seperti urusan perkawinan, kelahiran, kematian, mencari pekerjaan, serta hilangnya hak-hak mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik (pemilu, kongres, konferensi, aksi unjuk rasa dll).
Mereka juga akan di-black list, dan nama mereka akan disebarkan ke semua pelabuhan udara, laut dan darat sebagai nama yang terlarang masuk ke Negara Indonesia.
Mereka akan mendapat status ILEGAL. Dengan demikian kalian menjadi buron.
Maka sekali lagi kepada Forkorus dkk, pikirkan matang-matang karena ternyata status kewarganegaraan seseorang sangatlah penting. Dan ini berlaku di semua negara di dunia. Mungkin mereka telah berkhianat kepada negara. Dan tidak hanya mereka yang telah berkhianat kepada negara. Para koruptor pun telah melakukan pengkhianatan, namun negara masih memberikan kesempatan kepada mereka untuk insyaf melalui pembinaan di dalam LP.
Kepada tim pembela Forkorus, tolong jangan terbawa emosi politik klien-klien anda. Salah satu tanggung jawab moral di balik profesi anda adalah menyadarkan orang-orang yang anda bela untuk tetap setia kepada Negara Indonesia. Salah satunya adalah dengan mentaati hukum yang berlaku di negeri ini.
Dan kepada kita sebagai warga negara, mari kita gunakan momentum ini untuk semakin menghargai dan mencintai negeri kita, bangsa kita, dan Tanah Air kita, serta tetap bangga menjadi orang Indonesia.


SUMBER : http://politik.kompasiana.com/2012/02/19/mempersoalkan-status-kewarganegaraan-para-terdakwa-kasus-makar-bagian-2-440467.html



2.   MASALAH  KEWARGANEGARAAN  DI  INDONESIA 


     Yang di maksud dengan Penduduk adalah orang atau sekelompok orang yang tinggal di suatu tempat. Adapun yang dimaksud penduduk Indonesia adalah orang-orang yang menetap di Indonesia. Berdasarkan publikasi dari Badan  Pusat Statistik (BPS), basil census pada tahun 2000 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 202,9 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang demikian banyaknya, Indonesia menduduki urutan  keempat sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Penduduk Indonesia terdiri atas beherapa suku hangsa, kebudayaan, dan memiliki berhagai bahasa daerah. Keragaman yang ada di Indonesia tidak membuat hangsa Indonesia terpecah belah. Keragaman ini dijadikan dasar untuk membina persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, persatuan keragaman ini dijadikan semboyan dan dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila. Semboyan tersebut berbunyi “Bhinneka Tunggal lka” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi satu jua. dan hutan musim. Flora Indonesia bagian timur banyak memiliki persamaan dengan wilayah Australia sehingga sering dinamakan torn Australis. Sebagian besar flora Indonesia bagian timur terdapat di Papua. jenis vegetasinya terdiri atas hutan hujan tropis, hutan mangrove (bakau), dan hutan pegunungan.

    Begitu banyaknya masalah yang ada di negara kita maka dari itu di sini akan mengangkat sebuah topik permasalahan Kewarganegaraan Indonesia,di mana anak yang orangtua beda negara harus memilih negara yang di kehendaki yang sesuai dengan UU yang berlaku. Lebih jelasnya, penduduk Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. (oleh wikipedia Indonesia).


    Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah ( dari uu kewarganegaraan 2006.html)
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
    warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki  
    kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada
    anak tersebut
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal
    dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai 
    anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
    tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia
    selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
      tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena      
      ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak
      yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian
      ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan
belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai
anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk
dalam situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara
Indonesia

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas,
dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses
pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima
tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun
2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak
yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan
lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun
2007.

Hak dan kewajiban dalam UUD 1945
Hak dan kewajiban warganegara dalam Bab X psl 26, 27, 28, & 30 tentang
warga Negara :
->  Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat ±syarat mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang.
->   Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya
didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
->   Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undang-
undang.
->   Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam
pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur
dengan UU.

 Asas Ius Soli dan Ius Sangunis
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip µius soli atau prinsip µius sanguinis. (oleh Jimly Asshiddiqie)
a. Ius Soli (Menurut Tempat Kelahiran) yaitu; Penentuan status
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia menjadi warga negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara B. asas ini dianut oleh negara Inggris, Mesir, Amerika dll.
b. Ius Sanguinis (Menurut Keturunan/Pertalian Darah) yaitu; Penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dari negara mana seseorang berasal Seseorang yg dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya warga negara B, maka orang tersebut menjadi warga negara B. asas ini dianut oleh negara RRC

    Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
    Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
    Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
 
  Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip µius sanguinis yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya.
    Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
    Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
    Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
    Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
    Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius soli¶, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
(i) kewarganegaraan karena kelahiran atau µcitizenship by birth
(ii)kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau µcitizenship by naturalization
(iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau µcitizenship by registration



Sumber :  http://lanlanfesa.blogspot.com/2012/10/masalah-kependudukan-indonesia.html

3. Masalah Ketenagakerjaan, Pengangguran, dan Kemiskinan Indonesia
Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara - negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah ketenagakerjaan, pengangguran, dan kemiskinan Indonesia sudah menjadi masalah pokok bangsa ini dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan menghalangi langkah Indonesia untuk menjadi mengara yang lebih maju. Indonesia sebenarnya sempat menjadi tempat favorit bagi para pengusaha dari luar negeri untuk membangun usaha mereka disini. Ya, dengan alasan murahnya biaya tenaga kerja merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia diincar oleh para pengusaha asing. Namun, ternyata hal tersebut tidak diimbangi dengan dukungan positif dari pemerintah tentang pengaturan Undang - Undang investasi dan ketenagakerjaan sehingga malah memunculkan banyak masalah baru sehingga mengakibatkan dampak terparah berupa relokasi tempat usaha ke negara lain. Banyak yang harus dibenahi untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Diantaranya adalah dengan membekali berbagai macam ketrampilan bagi para tenaga kerja usia produktif supaya lebih mampu bersaing di dunia kerja tidak hanya dalam bursa tenaga kerja lokal namun juga bursa tenaga kerja dunia.

Dampak terbesar dari terjadinya relokasi tempat usaha adalah meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Jumlah pengangguran di Indonesia telah mencapai titik dimana memerlukan penanganan dari pemerintah dengan sangat serius. Ternyata langkah pemerintah untuk membuka banyak lapangan kerja baru tidak banyak membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Langkah yang dianggap paling tepat adalah dengan membekali ketrampilan kepada para tenaga kerja produktif yang masih belum medapatkan pekerjaan dengan harapan mereka bisa membuka lapangan kerja baru, tidak hanya untuk diri mereka sendiri namun juga untuk masyarakat di sekitar mereka. Oleh karena itu, dukungan penuh dari pemerintah terhadap para wiraswasta sangat diharapkan supaya angka pengangguran bisa jauh berkurang.

Masalah yang tidak kalah pentingnya adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai akar dari segala permasalahan sosial kependudukan yang memiliki efek luar biasa bagi Indonesia. Harus diakui bahwa hingga saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah penduduk miskin adalah dengan memberikan fasilitas rusunawa yang pada kenyataannya banyak salah sasaran, memberikan BLT (bantuan langsung tunai) yang ternyata tidak banyak membantu masyarakat, hingga pemberian aneka subsidi untuk masyarakat miskin. Berbagai langkah tersebut pada kenyataannya tidak bisa membuat jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi berkurang. Karena solusi idealnya adalah dengan memberikan mereka pekerjaan tetap dengan gaji yang memadai sehingga mereka bisa hidup lebih layak. Ini bukan perkara yang mudah bagi pemerintah. 


Sumber: http://carapedia.com/masalah_ketenagakerjaan_pengangguran_kemiskinan_indonesia_info3017.html


4.MEMAKNAI  UU  KEWARGANEGARAAN


Diluar ketidak sepakatan yang disuarakan oleh kaum wanita yang merasa bahwa UU kewarganegaraan masih kurang komprehensif dalam melakukan perlindungan pada kaum wanita . tetapi sedikitnya dengan adanya UU baru ini kita dapat melihat adanya sedikit bukti nyata bahwa pemerintah mempunyai keinginan dalam menghilangkan tradisi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pasal 2 UU tersebut dijelaskan yang merupakan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya. Dengan begini tiap anak keturunan secara otomatis akan menjadi warga negara Indonesia. Sebuah langkah awal yang boleh dibilang maju apabila dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang mendahuluinya.
Harmonisasi dalam berbangsa dan bernegara, termasuk didalamnya pola interaksi sosial dimana terjadi pertautan antara kebudayaan di Indonesia. Seperti telah diketahui Indonesia terdiri dari banyak bangsa yang kemudian memutuskan untuk menyatukan diri sebagai sebuah negara bangsa. Sehingga keberagaman menjadi sebuah syarat tidak tertulis dan harus disepakati. Ditambah kemajuan zaman sehingga batasan wilayah dan kondisi geografis bukan menjadi halangan utama dalam melakukan interaksi dengan dunia luar. Dalam interaksi ini diperlukan sebuah batasan sehingga interaksi ini tidak menjelma menjadi dominasi sepihak. Maka produk hukum yang membawa nilai demokratis dan melalui proses yang demokratis menjadi sebuah pilihan penengah.
Permasalahan pri, non pri bukanlah masalah baru yang berkembang. Permasalahan ini terendap dalam hati sehingga menimbulkan sebuah stigma dan terpenjara pada golongannya masing-masing. Didalam golongan ini biasanya adanya sebuah symbol-simbol tertentu yang berkorelasi erat dengan identitas. Sehingga pembentukan identitas tetap memainkan sebuah peranan yang penting didalamnya. Defenisi identitas menurut Jefrey Weeks adalah belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan kamu dengan orang lain. Sebagai sesuatu yang paling mendasar identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil bagi kualitas kamu. Identitas tidak semerta-merta akan terbentuk dikarenakan trah dari orang tua, lingkungan juga memainkan peranan yang tidak kalah pentingnya dalam membentuk identitas seseorang. Identitas juga menempatkan seseorang dengan pola pergaulannya tertentu dan dapat menjadi sebuah eksistensi social bagi dirinya di masyarakat. Bisa menjadi tempat paling aman dalam memandang masa depan yang penuh ketidak pastian bisa juga menyudutkan seseorang kedalam posisi yang selalu terpojok. Pada kasus etnik Tionghoa dispora telah terjadi dan akulturasi budaya telah begitu berhasil. Banyak diketemukan kasus ketionghoaanya telah terkikis tergantikan dengan kultur daerah tempat dimana dirinya tinggal. Selain disebabkan oleh peraturan yang mengekang hal yang lain juga adalah peleburan budaya individu tersebut yang begitu berhasil dilakukan. Tetapi sebaik apapun seseorang mempunyai asumsi terhadap dirinya pandangan dari orang lain belum tentu akan bertemu pada titik pandangan yang sama. Perasaan yang ditimbulkan oleh stigmasisasi tersebutlah yang kadang begitu dominant dalam melakukan penilaian individu perindividu. Implikasinya adalah menimbulkan ekseklusifan dalam banyak hal. Inilah yang terjadi dan berakibat sangat vital di negri ini sebuah cara pandang dan generalisir dalam menilai seseorang dijadikan sebuah rujukan untuk menilai seluruh golongan. Sehingga tiap kelompok mempunyai cara pandang yang sama dalam melakukan penilaian terhadap orang lain dari sudut kelompok tersebut. Walaupun adakalanya tetap ada individu yang berfikiran berbeda tetapi belum menjadi hal yang dominant. Secara tidak sadar keberadaan kelompok tersebut justru menimbulkan elitis dikedua belah pihak. Apabila perasaan inferior akibat dominasi tersebut, naluriah seseorang akan memaksa kembali pada identitas dirinya semula. Disinilah pri dan non pri muncul kembali sebagai sebuah pembenaran akan sikap dari perasaan identitas yang berlebihan. Ditambah dengan kelompok tersebut yang terus melestarikan pada generasi baru untuk memainkan peranan yang sama.
UU kewarganegaraan adalah sebuah terobosan baru dalam memahami identitas. Bahwa kita dipersatukan oleh negara yang bernama Indonesia. Dengan Indonesia kita diajak untuk saling memahami tanpa perlu untuk menghilangkan budaya asal-usul diri kita. Bagaimanapun negri ini terlahir dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Bahkan ini adalah sebuah kekayaan yang wajib dilestarikan. Berbagai pertanyaan bermunculan ketika UU ini disahkan. Banyak sekali etnis Tionghoa yang telah beberapa generasi tinggal di Indonesia tidak memiliki kartu identitas dikarenakan prosesi tersebut rumit dan mengeluarkan banyak biaya. Apakah posisi mereka menjadi lebih baik dan secara otomatis akan mendapatkan identitas WNI dengan ktpnya. Apakah budaya serta stigma akan secara otomatis bisa hilang ketika UU tersebut disahkan?UU adalah sebuah landasan hukum tapi tidak semerta-merta akan melakukan perubahan yang signifikan ketika individu sebagai pelaksananya ternyata hanyalah menggangap sekedar perundang-undangan tanpa perlu dilaksanakan. Lapangan kadang bicara berbeda tidak seperti diatas kertas. Apalagi ketika kita melihat bahwa prosesi cara pandang tersebut telah menjadi benar dikarenakan terbiasa. Perlunya kita bersama untuk membangun sebuah paradigma baru dalam memandang keberagaman. Keberagaman jangan dipandang sebagai sebuah penghalang tapi sebagai sebuah anugrah. Paradigma inipun tidak serta merta hadir dengan sendirinya tapi tetaplah perlu sebuah proses yang memakan waktu yang cukup panjang. Paradigma inipun juga yang akan menuntun kita dalam memahami era globalisasi yang semakin mendekat. Ketika kita bisa memahami keperbedaan dan menjadikannya sebuah kekuatan persatuan, tidaklah mudah kita terjebak pada kebimbangan dalam menentukan sikap dalam derasnya arus budaya yang masuk kedalam negri ini.
UU ini sah untuk dikatakan sebagai langkah awal dan bukan langkah akhir perjuangan. Ditambah kritik dari kaum perempuan yang merasa bahwa UU tersebut tidak ramah gender. Pertimbangan-pertimbangan ini wajib menjadi sebuah refrensi tersendiri bagi kemajuan dimasa mendatang.



Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2012/09/11/memaknai-uu-kewarganegaraan-485942.html

5.  ARTIKEL KEWARGANEGARAAN DAMPAK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME ( KKN )
Korupsi ( bahasa latin: courruptio dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan (fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan (menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan cerminan dari dampak KKN.
Pada umumnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, Korupsi merupakan  bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi menyimpang (negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum, dan terlebih melanggar aturan agama.
Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Dan
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Dalam konteks USDRP yang diinisasi Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Untuk itu, menjadi suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang dikembangkan oleh CPMU dengan dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan MTAS mengembangkan manual tentang Program Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action Plan/ACAP. Tentunya pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team Konsultan Tingkat Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank Dunia melalui USDRP serius untuk membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) beserta benih-benihnya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsip demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap pemerintahnya. Hernando de Soto (1992) misalnya  menyatakan. “….terdapat perilaku rasional (rational choice) dari masyarakat untuk menjadi “informal” secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari perilaku birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.” Barzelay (1982) dalam ‘Breaking Through Bureaucracy’ menyatakan “ masyarakat bosan pada birokrasi yang rakus dan bekerja lamban”
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Akibat – akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini adalah :
  1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
  2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
  3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
  1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
  2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
  3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
  4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini akan  semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.
Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
  1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
  2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
  3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
  4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
  5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
  6. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Pada akhirnya pemerintah mempunyai peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini sehingga bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.




Sumber : http://indahsrimariani.wordpress.com/2012/07/14/10/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar