Mempersoalkan
Status Kewarganegaraan Para Terdakwa Kasus Makar (Bagian 2)
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia telah memenuhi sejumlah
syarat, yakni berdaulat atas rakyatnya, atas wilayahnya yang terdiri dari
ribuan pulau-pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, dan memiliki
pemerintahan yang sah (syarat primer), serta telah mendapatkan pengakuan dari
negara lain (syarat sekunder).
Terkait hal itu, awal pekan lalu, seorang Wakil Rakyat dari Papua, Johannes Sumarto (Anggota DPRP) mengungkapkan kekecewaannya atas
pernyataan tidak bijak seorang tokoh masyarakat dari Tanah Papua, yaitu
Forkorus Yaboisembut (terdakwa kasus makar yang saat ini sedang menjalani
persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura) yang dalam sidang tersebut tidak mau
mengakui bahwa dirinya adalah Warga
Negara Indonesia (WNI).
Forkorus bersama empat rekannya sesama
pesakitan kasus makar itu secara tegas menyatakan bahwa mereka bukan Bangsa
Indonesia, tetapi Bangsa Papua. Dan negara mereka adalah negara republik federasi
Papua Barat (NRFPB) dimana Forkorus adalah presidennya.
Menurut Johanes Sumarto, hukuman bagi Forkorus dkk akan lebih ringan jika
mereka mengakui sebagai WNI. Hal ini sangat
menguntungkan bagi Forkorus Cs agar hukumannya bisa lebih ringan dari pada
mengatakan bukan Warga WNI. Jika tidak, maka hukuman bagi mereka akan semakin berat
karena telah melakukan tindakan makar di
dalam NKRI, karena tanah Papua berada dalam wilayah kedaulatan NKRI.
Prinsip-prinsip dasar tentang Warga Negara Indonesia sebagaimana termaktud
dalam pasal 26 UUD 1945 telah diulas pada bagian pertama tulisan sederhana ini.
Intinya, demi integrasi bangsa Indonesia, konstitusi
kita telah memberikan keleluasaan kepada para wakil rakyat untuk menjabarkannya
secara lebih rinci melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Indonesia.
Ambiguitas tentang orang Indonesia asli (dan tidak asli) telah terjawab
dalam UU ini. Menurut undang-undang ini, orang
yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) antara lain (saya kutip beberapa saja)
:
1. setiap orang yang sebelum
berlakunya UU ini (sebelum
tahun 2006) telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA),
atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang
sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki
kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada
anak tersebut.
5. dst….
Adapun asas kewarganegaraan
khusus yang terkandungdi dalam undang-undang ini (sebagaimana dimuat pada bagian
Penjelasan Umum UU ini) meliputi, antara lain :
· Asas kepentingan nasional, yaitu asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan
nasional Indonesia yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai Negara Kesatuan yang memiliki cita-cita dan
tujuannya sendiri;
· Asas persamaan di muka hukum dan
pemerintahan, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap
Warga NegaraIndonesi
mendapatkan perlakuan yang sama di
dalam hukum dan pemerintahan;
· Asas non diskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan
dengan Warga Negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin
dan gender;
· Asas publisitas, yaitu asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan
Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat
mengetahuinya
Arti Penting Status Kewarganegaraan
Status kewarganegaraan seseorang merupakan
bukti keanggotaannya dalam organisasi kekuasaan yang disebut negara. Oleh sebab
itu, negara wajib melindunginya. Perlindungan yang dimaksud
disini berdimensi HAM dan KAM (Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Asasi Manusia). Selain itu, itu dalam dimensi Hukum Publik, status kewarganegaraan
seseorang akan menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang yang disebut sebagai Warga Negara harus tunduk dan patuh pada hukum-hukum
negara sebagai manifestasi kehendak bersama dalam ikatan kontrak sosial yang
merupakan prasyarat normatif terbentuknya Negara.
Konsekuensi hukum bagi Forkorus dkk
Maka bagi Forkorus dkk yang tidak mengakui statusnya sebagai WNI, tolong
pikirkan sekali lagi untung-ruginya. Penolakan sebagai WNI tidak dengan
sendirinya dapat membebaskan mereka dari tuntutan hukum, karena tindakan makar
yang mereka lakukan terjadi di wilayah kedaulatan NKRI. Jika nantinya terbukti
bersalah melakukan makar, maka otomatis mereka akan menjadi penghuni Lembaga
Pemasyarakatan (LP).
Jika selama sekian tahun menjadi penghuni LP ternyata tidak juga membuat
mereka sadar dan insyaf, (artinya mereka tetap tidak mengakui statusnya sebagai
WNI), inilah konsekwensinya setelah mereka lepas dari LP nanti :
Jika tertangkap di wilayah kedaulatan Indonesia
(termasuk di Papua), maka dalam waktu 48 jam, Forkorus dkk harus meninggalkan wilayah tersebut.
Forkorus dkk tidak memiliki kekebalan hukum
terhadap masalah-masalah mereka. Justru
sebaliknya mereka akan didisportasikan ke negara asalnya (yang entah
dimana itu persisnya).
Tidak ada lagi
perlindungan hukum atas hak -hak dan kewajiban sipil mereka beserta
keluarganya, seperti urusan perkawinan, kelahiran, kematian, mencari pekerjaan,
serta hilangnya hak-hak mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik
(pemilu, kongres, konferensi, aksi unjuk rasa dll).
Mereka juga akan di-black
list, dan nama mereka akan disebarkan ke semua
pelabuhan udara, laut
dan darat sebagai nama yang
terlarang masuk ke Negara Indonesia.
Mereka akan mendapat status ILEGAL. Dengan demikian kalian menjadi
buron.
Maka sekali lagi kepada Forkorus dkk, pikirkan matang-matang karena
ternyata status kewarganegaraan seseorang sangatlah penting. Dan ini berlaku di
semua negara di dunia. Mungkin mereka telah berkhianat kepada negara. Dan tidak
hanya mereka yang telah berkhianat kepada negara. Para koruptor pun telah
melakukan pengkhianatan, namun negara masih memberikan kesempatan kepada mereka
untuk insyaf melalui pembinaan di dalam LP.
Kepada tim pembela Forkorus, tolong jangan terbawa emosi politik klien-klien
anda. Salah satu tanggung jawab moral di balik profesi anda adalah menyadarkan
orang-orang yang anda bela untuk tetap setia kepada Negara Indonesia. Salah
satunya adalah dengan mentaati hukum yang berlaku di negeri ini.
Dan kepada kita sebagai warga negara, mari kita gunakan momentum ini untuk
semakin menghargai dan mencintai negeri kita, bangsa kita, dan Tanah Air kita,
serta tetap bangga menjadi orang Indonesia.
SUMBER
: http://politik.kompasiana.com/2012/02/19/mempersoalkan-status-kewarganegaraan-para-terdakwa-kasus-makar-bagian-2-440467.html
2. MASALAH KEWARGANEGARAAN DI
INDONESIA
Yang di maksud dengan Penduduk adalah orang atau sekelompok orang yang
tinggal di suatu tempat. Adapun yang dimaksud penduduk Indonesia adalah
orang-orang yang menetap di Indonesia. Berdasarkan publikasi dari Badan
Pusat Statistik (BPS), basil census pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
penduduk Indonesia berjumlah 202,9 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang
demikian banyaknya, Indonesia menduduki urutan keempat sebagai negara
yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
Penduduk Indonesia terdiri atas beherapa suku hangsa, kebudayaan, dan memiliki berhagai bahasa daerah. Keragaman yang ada di Indonesia tidak membuat hangsa Indonesia terpecah belah. Keragaman ini dijadikan dasar untuk membina persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, persatuan keragaman ini dijadikan semboyan dan dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila. Semboyan tersebut berbunyi “Bhinneka Tunggal lka” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi satu jua. dan hutan musim. Flora Indonesia bagian timur banyak memiliki persamaan dengan wilayah Australia sehingga sering dinamakan torn Australis. Sebagian besar flora Indonesia bagian timur terdapat di Papua. jenis vegetasinya terdiri atas hutan hujan tropis, hutan mangrove (bakau), dan hutan pegunungan.
Begitu banyaknya masalah yang ada di negara kita maka dari itu di sini akan mengangkat sebuah topik permasalahan Kewarganegaraan Indonesia,di mana anak yang orangtua beda negara harus memilih negara yang di kehendaki yang sesuai dengan UU yang berlaku. Lebih jelasnya, penduduk Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. (oleh wikipedia Indonesia).
Penduduk Indonesia terdiri atas beherapa suku hangsa, kebudayaan, dan memiliki berhagai bahasa daerah. Keragaman yang ada di Indonesia tidak membuat hangsa Indonesia terpecah belah. Keragaman ini dijadikan dasar untuk membina persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, persatuan keragaman ini dijadikan semboyan dan dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila. Semboyan tersebut berbunyi “Bhinneka Tunggal lka” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi satu jua. dan hutan musim. Flora Indonesia bagian timur banyak memiliki persamaan dengan wilayah Australia sehingga sering dinamakan torn Australis. Sebagian besar flora Indonesia bagian timur terdapat di Papua. jenis vegetasinya terdiri atas hutan hujan tropis, hutan mangrove (bakau), dan hutan pegunungan.
Begitu banyaknya masalah yang ada di negara kita maka dari itu di sini akan mengangkat sebuah topik permasalahan Kewarganegaraan Indonesia,di mana anak yang orangtua beda negara harus memilih negara yang di kehendaki yang sesuai dengan UU yang berlaku. Lebih jelasnya, penduduk Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. (oleh wikipedia Indonesia).
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah ( dari uu kewarganegaraan 2006.html)
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi
Warga Negara Indonesia (WNI) adalah ( dari uu kewarganegaraan 2006.html)
1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu
warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki
kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan
kewarganegaraan kepada
anak tersebut
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai
5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18
tahun atau belum kawin
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui
8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui
10. anak yang lahir di wilayah
negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena
tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak
yang bersangkutan
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian
12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian
ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau
menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan
belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai
anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk
dalam situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara
Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas,
dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses
pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima
tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun
2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak
yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan
lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun
2007.
Hak dan kewajiban dalam UUD 1945
Hak dan kewajiban warganegara dalam Bab X psl 26, 27, 28, & 30 tentang
warga Negara :
-> Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat ±syarat mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang.
-> Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya
didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
-> Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undang-
undang.
-> Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam
pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur
dengan UU.
Asas Ius Soli dan Ius Sangunis
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip µius soli atau prinsip µius sanguinis. (oleh Jimly Asshiddiqie)
a. Ius Soli (Menurut Tempat Kelahiran) yaitu; Penentuan status
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia menjadi warga negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara B. asas ini dianut oleh negara Inggris, Mesir, Amerika dll.
b. Ius Sanguinis (Menurut Keturunan/Pertalian Darah) yaitu; Penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dari negara mana seseorang berasal Seseorang yg dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya warga negara B, maka orang tersebut menjadi warga negara B. asas ini dianut oleh negara RRC
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi:
1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan
belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai
anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk
dalam situasi sebagai berikut:
1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara
Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas,
dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses
pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara
Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima
tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan
pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak
mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun
2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak
yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan
lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun
2007.
Hak dan kewajiban dalam UUD 1945
Hak dan kewajiban warganegara dalam Bab X psl 26, 27, 28, & 30 tentang
warga Negara :
-> Pasal 26 ayat 1 yang menjadi warga Negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-
undang sebagai warga Negara pada ayat 2, syarat ±syarat mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dgn undang-undang.
-> Pasal 27 ayat 1 bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukan nya
didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Pada ayat 2 disebutkan bahwa tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
-> Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dgn lisan dan sebagainya ditetapkan dgn undang-
undang.
-> Pasal 30 ayat 1 bahwa hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam
pembelaan negara dan ayat 2 mengatakan pengaturan lebih lanjut diatur
dengan UU.
Asas Ius Soli dan Ius Sangunis
Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip µius soli atau prinsip µius sanguinis. (oleh Jimly Asshiddiqie)
a. Ius Soli (Menurut Tempat Kelahiran) yaitu; Penentuan status
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat dimana ia dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia menjadi warga negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara B. asas ini dianut oleh negara Inggris, Mesir, Amerika dll.
b. Ius Sanguinis (Menurut Keturunan/Pertalian Darah) yaitu; Penentuan status kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan dari negara mana seseorang berasal Seseorang yg dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya warga negara B, maka orang tersebut menjadi warga negara B. asas ini dianut oleh negara RRC
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip
µius sanguinis yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan
status orangtua yang berhubungan darah dengannya.
Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius soli¶, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
(i) kewarganegaraan karena kelahiran atau µcitizenship by birth
(ii)kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau µcitizenship by naturalization
(iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau µcitizenship by registration
Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip µius soli¶ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi). Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi.Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.
Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi, karena Perancis, misalnya, menganut prinsip µius soli¶, maka menurut ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi, untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya, keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi µius soli, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses kewarganegaraan itu dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu:
(i) kewarganegaraan karena kelahiran atau µcitizenship by birth
(ii)kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau µcitizenship by naturalization
(iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau µcitizenship by registration
Sumber : http://lanlanfesa.blogspot.com/2012/10/masalah-kependudukan-indonesia.html
3. Masalah Ketenagakerjaan,
Pengangguran, dan Kemiskinan Indonesia
Sebuah negara tidak akan pernah bisa
lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih
pada negara - negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti
Indonesia. Masalah ketenagakerjaan, pengangguran, dan kemiskinan Indonesia
sudah menjadi masalah pokok bangsa ini dan membutuhkan penanganan segera supaya
tidak semakin membelit dan menghalangi langkah Indonesia untuk menjadi mengara
yang lebih maju. Indonesia sebenarnya sempat menjadi tempat favorit bagi para
pengusaha dari luar negeri untuk membangun usaha mereka disini. Ya, dengan
alasan murahnya biaya tenaga kerja merupakan salah satu faktor mengapa
Indonesia diincar oleh para pengusaha asing. Namun, ternyata hal tersebut tidak
diimbangi dengan dukungan positif dari pemerintah tentang pengaturan Undang -
Undang investasi dan ketenagakerjaan sehingga malah memunculkan banyak masalah
baru sehingga mengakibatkan dampak terparah berupa relokasi tempat usaha ke
negara lain. Banyak yang harus dibenahi untuk menyelesaikan masalah
ketenagakerjaan. Diantaranya adalah dengan membekali berbagai macam ketrampilan
bagi para tenaga kerja usia produktif supaya lebih mampu bersaing di dunia
kerja tidak hanya dalam bursa tenaga kerja lokal namun juga bursa tenaga kerja
dunia.
Dampak terbesar dari terjadinya
relokasi tempat usaha adalah meningkatnya angka pengangguran di Indonesia.
Jumlah pengangguran di Indonesia telah mencapai titik dimana memerlukan
penanganan dari pemerintah dengan sangat serius. Ternyata langkah pemerintah
untuk membuka banyak lapangan kerja baru tidak banyak membantu mengurangi
jumlah pengangguran di Indonesia. Langkah yang dianggap paling tepat adalah
dengan membekali ketrampilan kepada para tenaga kerja produktif yang masih
belum medapatkan pekerjaan dengan harapan mereka bisa membuka lapangan kerja
baru, tidak hanya untuk diri mereka sendiri namun juga untuk masyarakat di sekitar
mereka. Oleh karena itu, dukungan penuh dari pemerintah terhadap para
wiraswasta sangat diharapkan supaya angka pengangguran bisa jauh berkurang.
Masalah yang tidak kalah pentingnya
adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai akar dari segala
permasalahan sosial kependudukan yang memiliki efek luar biasa bagi Indonesia.
Harus diakui bahwa hingga saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih
sangat tinggi. Upaya pemerintah untuk menurunkan jumlah penduduk miskin adalah
dengan memberikan fasilitas rusunawa yang pada kenyataannya banyak salah
sasaran, memberikan BLT (bantuan langsung tunai) yang ternyata tidak banyak
membantu masyarakat, hingga pemberian aneka subsidi untuk masyarakat miskin.
Berbagai langkah tersebut pada kenyataannya tidak bisa membuat jumlah penduduk
miskin di Indonesia menjadi berkurang. Karena solusi idealnya adalah dengan
memberikan mereka pekerjaan tetap dengan gaji yang memadai sehingga mereka bisa
hidup lebih layak. Ini bukan perkara yang mudah bagi pemerintah.
Sumber: http://carapedia.com/masalah_ketenagakerjaan_pengangguran_kemiskinan_indonesia_info3017.html
4.MEMAKNAI UU KEWARGANEGARAAN
Diluar ketidak sepakatan yang
disuarakan oleh kaum wanita yang merasa bahwa UU kewarganegaraan masih kurang
komprehensif dalam melakukan perlindungan pada kaum wanita . tetapi sedikitnya
dengan adanya UU baru ini kita dapat melihat adanya sedikit bukti nyata bahwa
pemerintah mempunyai keinginan dalam menghilangkan tradisi diskriminasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pasal 2 UU tersebut dijelaskan yang
merupakan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya. Dengan
begini tiap anak keturunan secara otomatis akan menjadi warga negara Indonesia.
Sebuah langkah awal yang boleh dibilang maju apabila dibandingkan dengan
peraturan-peraturan yang mendahuluinya.
Harmonisasi dalam berbangsa dan
bernegara, termasuk didalamnya pola interaksi sosial dimana terjadi pertautan
antara kebudayaan di Indonesia. Seperti telah diketahui Indonesia terdiri dari
banyak bangsa yang kemudian memutuskan untuk menyatukan diri sebagai sebuah
negara bangsa. Sehingga keberagaman menjadi sebuah syarat tidak tertulis dan
harus disepakati. Ditambah kemajuan zaman sehingga batasan wilayah dan kondisi
geografis bukan menjadi halangan utama dalam melakukan interaksi dengan dunia
luar. Dalam interaksi ini diperlukan sebuah batasan sehingga interaksi ini
tidak menjelma menjadi dominasi sepihak. Maka produk hukum yang membawa nilai
demokratis dan melalui proses yang demokratis menjadi sebuah pilihan penengah.
Permasalahan pri, non pri bukanlah
masalah baru yang berkembang. Permasalahan ini terendap dalam hati sehingga
menimbulkan sebuah stigma dan terpenjara pada golongannya masing-masing.
Didalam golongan ini biasanya adanya sebuah symbol-simbol tertentu yang
berkorelasi erat dengan identitas. Sehingga pembentukan identitas tetap
memainkan sebuah peranan yang penting didalamnya. Defenisi identitas menurut
Jefrey Weeks adalah belonging tentang persamaan dengan sejumlah orang dan
apa yang membedakan kamu dengan orang lain. Sebagai sesuatu yang paling
mendasar identitas memberi kamu rasa tentang lokasi pribadi, inti yang stabil
bagi kualitas kamu. Identitas tidak semerta-merta akan terbentuk
dikarenakan trah dari orang tua, lingkungan juga memainkan peranan yang tidak
kalah pentingnya dalam membentuk identitas seseorang. Identitas juga
menempatkan seseorang dengan pola pergaulannya tertentu dan dapat menjadi
sebuah eksistensi social bagi dirinya di masyarakat. Bisa menjadi tempat paling
aman dalam memandang masa depan yang penuh ketidak pastian bisa juga
menyudutkan seseorang kedalam posisi yang selalu terpojok. Pada kasus etnik
Tionghoa dispora telah terjadi dan akulturasi budaya telah begitu berhasil.
Banyak diketemukan kasus ketionghoaanya telah terkikis tergantikan dengan
kultur daerah tempat dimana dirinya tinggal. Selain disebabkan oleh peraturan
yang mengekang hal yang lain juga adalah peleburan budaya individu tersebut
yang begitu berhasil dilakukan. Tetapi sebaik apapun seseorang mempunyai asumsi
terhadap dirinya pandangan dari orang lain belum tentu akan bertemu pada titik
pandangan yang sama. Perasaan yang ditimbulkan oleh stigmasisasi tersebutlah
yang kadang begitu dominant dalam melakukan penilaian individu perindividu.
Implikasinya adalah menimbulkan ekseklusifan dalam banyak hal. Inilah yang
terjadi dan berakibat sangat vital di negri ini sebuah cara pandang dan
generalisir dalam menilai seseorang dijadikan sebuah rujukan untuk menilai
seluruh golongan. Sehingga tiap kelompok mempunyai cara pandang yang sama dalam
melakukan penilaian terhadap orang lain dari sudut kelompok tersebut. Walaupun
adakalanya tetap ada individu yang berfikiran berbeda tetapi belum menjadi hal
yang dominant. Secara tidak sadar keberadaan kelompok tersebut justru
menimbulkan elitis dikedua belah pihak. Apabila perasaan inferior akibat
dominasi tersebut, naluriah seseorang akan memaksa kembali pada identitas
dirinya semula. Disinilah pri dan non pri muncul kembali sebagai sebuah
pembenaran akan sikap dari perasaan identitas yang berlebihan. Ditambah dengan
kelompok tersebut yang terus melestarikan pada generasi baru untuk memainkan
peranan yang sama.
UU kewarganegaraan adalah sebuah
terobosan baru dalam memahami identitas. Bahwa kita dipersatukan oleh negara
yang bernama Indonesia. Dengan Indonesia kita diajak untuk saling memahami
tanpa perlu untuk menghilangkan budaya asal-usul diri kita. Bagaimanapun negri
ini terlahir dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Bahkan ini adalah sebuah
kekayaan yang wajib dilestarikan. Berbagai pertanyaan bermunculan ketika UU ini
disahkan. Banyak sekali etnis Tionghoa yang telah beberapa generasi tinggal di
Indonesia tidak memiliki kartu identitas dikarenakan prosesi tersebut rumit dan
mengeluarkan banyak biaya. Apakah posisi mereka menjadi lebih baik dan secara
otomatis akan mendapatkan identitas WNI dengan ktpnya. Apakah budaya serta
stigma akan secara otomatis bisa hilang ketika UU tersebut disahkan?UU adalah
sebuah landasan hukum tapi tidak semerta-merta akan melakukan perubahan yang
signifikan ketika individu sebagai pelaksananya ternyata hanyalah menggangap
sekedar perundang-undangan tanpa perlu dilaksanakan. Lapangan kadang bicara
berbeda tidak seperti diatas kertas. Apalagi ketika kita melihat bahwa prosesi
cara pandang tersebut telah menjadi benar dikarenakan terbiasa. Perlunya kita
bersama untuk membangun sebuah paradigma baru dalam memandang keberagaman.
Keberagaman jangan dipandang sebagai sebuah penghalang tapi sebagai sebuah
anugrah. Paradigma inipun tidak serta merta hadir dengan sendirinya tapi
tetaplah perlu sebuah proses yang memakan waktu yang cukup panjang. Paradigma
inipun juga yang akan menuntun kita dalam memahami era globalisasi yang semakin
mendekat. Ketika kita bisa memahami keperbedaan dan menjadikannya sebuah
kekuatan persatuan, tidaklah mudah kita terjebak pada kebimbangan dalam
menentukan sikap dalam derasnya arus budaya yang masuk kedalam negri ini.
UU ini sah untuk dikatakan sebagai
langkah awal dan bukan langkah akhir perjuangan. Ditambah kritik dari kaum
perempuan yang merasa bahwa UU tersebut tidak ramah gender.
Pertimbangan-pertimbangan ini wajib menjadi sebuah refrensi tersendiri bagi
kemajuan dimasa mendatang.
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2012/09/11/memaknai-uu-kewarganegaraan-485942.html
5. ARTIKEL KEWARGANEGARAAN DAMPAK
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME ( KKN )
Korupsi ( bahasa latin: courruptio
dari kata kerja corrumpere, yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
di Indonesia telah menjadi penyakit sosial yang sangat membahayakan
kelangsungan kehidupan bangsa dari upaya mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran
dan kemandirian, bahkan memenuhi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan
(fakir miskin, kaum jompo dan anak-anak terlantar). Menurunnya tingkat kesejahteraan
(menyengsarakan rakyat), kerusakan lingkungan sumber daya alam, mahalnya biaya
pendidikan dan kesehatan, hilangnya modal manusia yang handal, rusaknya moral
masyarakat secara besar-besaran bahkan menjadikan bangsa pengemis merupakan
cerminan dari dampak KKN.
Pada umumnya, korupsi adalah “benalu
sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama
terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan negara. Selain itu, Korupsi
merupakan bagian dari gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi
menyimpang (negative), karena merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial
yang merugikan individu lain dalam masyarakat, menghilangkan kesepakatan
bersama yang berdasar pada keadilan, serta pembunuhan karakter terhadap
individu itu sendiri. Makna korupsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak
memihak kepentingan bersama (egois), mengabaikan etika, melanggar aturan hukum,
dan terlebih melanggar aturan agama.
Kolusi adalah suatu kerja sama
melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan
pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Dan
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Nepotisme adalah tindakan atau perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam prakteknya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh
karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang otentik. Disamping
itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses
perbuatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan bahaya laten yang
harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini merupakan produk dari sikap
hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Dalam konteks USDRP yang diinisasi
Pemerintah dan Bank Dunia, KKN menjadi penyebab rendahnya daya saing suatu
daerah, terhambatnya proses pertumbuhan dan pengembangan ekonomi lokal/daerah maupun
semakin jeleknya kualitas dan kuantitas layanan publik. Untuk itu, menjadi
suatu kewajaran salah satu manual UIDP yang dikembangkan oleh CPMU dengan
dukungan Team Manajemen Konsultan UIDP dan MTAS mengembangkan manual tentang
Program Anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang dikenal Anti Corruption Action
Plan/ACAP. Tentunya pengembangan manual ACAP yang sedang disiapkan oleh Team
Konsultan Tingkat Nasional tersebut menjadi saksi bahwa Pemerintah dan Bank
Dunia melalui USDRP serius untuk membasmi pelaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) beserta benih-benihnya. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi
tumbuh subur pada suatu tatanan pemerintahan yang mengabaikan prinsip
demokratisasi dasar yakni transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
sumber daya publik. Dampaknya paling dirasakan oleh kelompok sosial masyarakat
rentan baik secara ekonomi maupun akses, selain itu tumbuh kembangnya budaya
dan relasi informal dalam pelayanan publik serta distrust terhadap
pemerintahnya. Hernando de Soto (1992) misalnya menyatakan. “….terdapat
perilaku rasional (rational choice) dari masyarakat untuk menjadi “informal”
secara ekonomis terhadap pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
Munculnya perilaku rational choice masyarakat tidak terlepas dari perilaku
birokrasi yang selama ini dirasakan oleh masyarakat.” Barzelay (1982) dalam
‘Breaking Through Bureaucracy’ menyatakan “ masyarakat bosan pada birokrasi
yang rakus dan bekerja lamban”
Bagaimana bila suatu saat mereka
bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana bila suatu saat mereka
bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan
kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang
berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan
dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif,
yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang
Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai
kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri,
mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain
sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi
tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata
justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana
korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah
sedikit dari sekian banyak perkara pelaku korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai
salah satu cita-cita reformasi.
Akibat – akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini adalah :
- Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
- ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
- pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961)
menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat
tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong
perusahaan untuk berusahaterutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut
:
- Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
- Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
- Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
- Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan
serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Semangat dan upaya pemberantasan
korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk
perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Harapan terhadap produk-produk
hukum diatas adalah praktek sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan
uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi
suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang
diharapkan. Beberapa kasus dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau
ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang diputuskan atau
bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin
disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul
pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama
saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang
perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau
disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah
sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara
korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) ini bukanlah monopoli dari kalangan elit
tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit.
Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan
stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk
korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk
undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan
pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga
budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu
kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai
keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan
yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi, kolusi dan
Nepotisme (KKN) ini akan semakin meningkat. Indonesia merupakan negara
yang berprestasi dalam hal korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan
negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini. Bahkan yang lebih menggelikan
lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara
terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang
hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang
dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana.
Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah
dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan
masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi
dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur
birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya?
Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang
membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya.
Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru
meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku
dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat
hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak
permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum
hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya
preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan
budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan
ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila
bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial
masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata
aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering
dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan
masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi
jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan
kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus
mata rantainya.
Upaya Penanggulangan Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) :
- Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
- mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
- Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
- Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
- menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
- hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Pada akhirnya pemerintah mempunyai
peran penting dalam penanganan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini sehingga
bangsa kita bisa lebih menjadi lebih baik dan lebih maju.
Sumber : http://indahsrimariani.wordpress.com/2012/07/14/10/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar