Sabtu, 14 Mei 2016

CIVIC JURNALISM



CIVIC JURNALISM DAN RUANG PUBLIK


”Civic Journalism”

Oleh ZAKY YAMANI
 
Minggu, 22 Februari 1998, Maja Beckstorm duduk di gereja melepaskan penatnya pikiran, akibat memikirkan persaingan antarkoran di Kota Twin Cities, Minnesota, AS. Tapi, segera dia begitu gembira. Seseorang di gereja itu mengacungkan koran dan berkata, "Setiap orang harus membaca ini! Kita harus tahu tentang ini!"

Koran yang diacungkan oleh orang itu adalah St. Pioneer Press, dan artikel yang dia anjurkan untuk dibaca oleh setiap orang adalah artikel yang ditulis oleh Beckstrom. Judulnya "Poverty Among Us" (Kemiskinan di Antara Kita). 

St. Pioneer Press adalah koran kecil dan secara bisnis ham­pir selalu kalah bersaing dengan koran-koran besar. Tapi koran ini punya idealisme, dan keteguhannya memegang idealisme itulah yang justru menyelamatkan keberlangsungan hidupnya. Kisah St. Pioneer Press terangkum di dalam tulisan Pat Ford "Engaging Journalists in Their Community" (1998) di dalam buku "Don't Stop There! Five Adventures in Civic Journalism", yang diterbitkan oleh Pew Center for Civic Journalism, Washington DC.

"Poverty Among Us" adalah awal dari sebuah artikel berseri yang diterbitkan oleh St. Pio­neer Press selama tujuh bu­lan. Serial tulisan itu mengulas tentang kemiskinan di wilayah Twin Cities dan bagaimana cara mengatasinya. Berbeda dari bentuk tulisan jurnalistik umumnya, tim penulis artikel serial itu membahas berbagai kemungkinan pemecahan masalah, mengajak warga kota untuk terlibat, dan menjalankan fungsi lebih sebagai pembimbing warga (guidedog) ketimbang sebagai pengawas (watchdog). 

Serial itu benar-benar berhasil menggerakkan warga untuk terlibat dalam pengentasan kemiskinan. Tak kurang dari 27 kelompok komunitas segera menggelar diskusi formal dengan melibatkan 1.500 warga Twin Cities. Yang digunakan sebagai bahan dan materi diskusi adalah serial artikel yang diterbitkan St. Pioneer Press.

Tidak berhenti sampai di situ. Setelah diskusi formal itu, ada sekira 1.000 pembaca St. Pioneer Press yang menggelar diskusi-diskusi lain dengan membahas dan membaca buku-buku tentang kemiskinan. Di jalur internet, lebih banyak lagi orang yang terlibat berdiskusi dan berdebat untuk mencari solusi.

Hasil dari diskusi itu sungguh luar biasa. Warga kota mulai menunjukkan kepeduliannya terhadap tetangga mereka yang miskin. Warga Twin Cities bahkan mengajukan class action kepada pemerintah, agar menyediakan rumah layak dan murah bagi warga yang tidak mampu. Class action itu berhasil dan warga kota yang miskin mulai bisa menjalani kehidupan yang lebih baik.

"Poverty Among Us" banyak disebut kalangan pemerhati media di AS sebagai civic journalism yang paling berhasil.
Sekarang civic journalism begitu melekat dengan nama St. Pioneer Press.

Sebenarnya apa yang disebut sebagai civic journalism? Mungkin akan banyak orang yang rancu dengan istilah citizen journalism, padahal keduanya sama sekali berbeda. Citizen journalism adalah keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu (dalam pengertian setiap orang adalah wartawan dan kerja wartawan bisa dilakukan oleh setiap orang). Sedangkan civic journalism adalah upaya wartawan profesional dan media tempat mereka bekerja untuk lebih mendekat dengan persoalan warga (pembacanya), serta ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan itu secara langsung. Bukan hanya memberitakan peristiwa atau fenomena dalam sikap yang objektif dan imparsial, tapi lebih menyatu dan terlibat dalam membimbing warga dan mendorong warga untuk melakukan sesuatu.

Dalam sebuah diskusi di ruang maya, dosen saya Mukund Pamadnabhan, yang juga seorang redaktur pelaksana di harian The Hindu di India mengatakan, civic journalism bisa menjadi alat untuk bertahan hidup sebuah media, di tengah kerasnya persaingan bisnis.

Apa yang dikatakannya masuk akal. Melalui civic journalism sebuah perusahaan media bisa mengikat kesetiaan pembacanya, karena pembaca sadar bahwa persoalan hidup mereka sehari-hari bisa terselesaikan dengan keterlibatan media tersebut. Lebih jauh lagi, persoalan warga terselesaikan karena "bimbingan" media tersebut. Semakin banyak persoalan masyarakat yang ikut diselesaikan oleh media, akan semakin banyak pembaca yang setia terhadap media itu. Dengan semakin banyak pembaca yang setia, pengiklan akan semakin percaya akan pengaruh media itu bagi masyarakat.
Apakah civic journalism sudah dipraktikkan oleh media di Indonesia? Jika mengacu pada definisinya, mungkin banyak media yang mengklaim sudah melaksanakannya. Tapi jika melihat langkah-langkah yang seharusnya dilakukan, mungkin kita harus memikirkan ulang jawabannya.

Pertama, civic journalism membutuhkan assessment persoalan warga. Sebuah media tidak bisa menebak apa yang dibutuhkan warga atau pembacanya, hanya berdasarkan perkiraan semata.
Tapi, mungkin saja dalam beberapa hal, sebuah media tidak perlu melakukan assessment ini.

Misalnya, ketika Bandung menghadapi persoalan sampah. Semua orang tahu sampah menjadi masalah dan semua orang menginginkan penyelesaian yang segera tapi menyeluruh. Tidak perlu lagi dilakukan assessment menyeluruh. Tapi pertanyaannya kemudian, adakah media yang secara konsisten membahas persoalan ini, mengajak pembacanya untuk ikut terlibat dalam diskusi pemecahan masalah, mengampanyekan alternatif penyelesaian masalah dan membuat warga mengambil alternatif itu, serta mengambil peran sebagai watchdog terhadap kebijakan pemerintah dan menjadi guidedog masyarakat?

Kedua, civic journalism membutuhkan target dan tujuan. Dalam hal ini, harus ada diskusi intens di redaksi dan mungkin di tingkat perusahaan. Tapi biasanya, penentuan target itu hanya dilakukan di tingkat redaksi (antara pemimpin redaksi dengan para redaktur, redaktur dengan redaktur, redaktur dengan wartawan, dan wartawan dengan wartawan). Diskusi di tingkat redaksi ini ditindaklanjuti dengan menggalang diskusi bersama masyarakat luas, bukan hanya dengan orang-orang yang dianggap "tokoh masyarakat".

Hasil akhir dari aksi civic journalism harus terukur. Misalnya, seperti yang dilakukan St. Pioneer Press ketika semakin banyak orang miskin yang memiliki tempat tinggal yang layak, setelah "Poverty Among Us" selesai diterbitkan.

Ketiga,
konsistensi pemberitaan. Menyediakan lahan pemberitaan yang cukup di halaman surat kabar selama berbulan-bulan bukanlah hal mudah. Tapi, hal ini harus dilakukan, karena civic journalism, bisa jadi membutuhkan proses diskursus yang panjang. Proses yang panjang itu dilakukan untuk mencari solusi yang juga berjangka panjang. Konsistensi ini harus dimiliki oleh redaksi dan juga individu yang bekerja di dalamnya, untuk terus mengembangkan ide kreatif yang berdasarkan pada hasil liputan di lapangan. Di tingkat perusahaan, konsistensi ini juga harus dijaga. Terutama dalam menjaga halaman agar tetap ada, tanpa dimakan habis oleh iklan.

Keempat, pembiayaan. Bukan tidak mungkin civic journalism membutuhkan biaya besar, misalnya untuk survei dan public polling. Perusahaan media harus siap dengan kemungkinan ini, sebab seringkali polling harus dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih valid, sehingga artikel yang ditampilkan bisa dijadikan bahan diskusi yang layak bagi masyarakat.

Kelima, kemampuan wartawan dan redaktur untuk menggali persoalan. Pada poin ini, kemampuan wartawan dan redaktur untuk menginvestigasi sesuatu akan teruji. Sebab pada intinya, laporan jurnalistik yang bisa membawa perubahan adalah ketika laporan itu berhasil mengungkap akar persoalan dan menunjukkan apa saja yang harus diperbaiki. Tapi sekali lagi, melakukan investigative reporting demi civic journalism, juga membutuhkan bia­­ya yang besar serta fasilitas yang memadai. 

Di sisi lain, war­tawan dan editor juga harus mampu membuat rangkaian ar­tikel menjadi menarik dan tidak membosankan untuk dibaca.

Civic journalism adalah salah satu bentuk dari tugas pelayanan media dan wartawan kepada masyarakat. Seperti juga yang disebut oleh Bill Kovach dan Tom Rossientel dalam "Elements of Journalism", bahwa wartawan bekerja untuk masyarakat. Kita bisa menerjemahkan konsep "bekerja untuk masyarakat" itu dengan menyajikan berita yang bisa memperbaiki kehidupan masyarakat atau setidaknya menambah pengetahuan mereka.

Artinya, setiap wartawan dituntut untuk berbuat lebih. Bukan sekadar menulis berita peristiwa, melakukan interview yang dangkal, dan tidak paham mengenai apa yang dia tulis. Dengan demikian citra wartawan yang hanya bisa melakuan wawancara door-stop (disebut juga ambush interview), dangkal, dan hanya bisa mengkloning berita, bisa dikikis untuk akhirnya hilang.***

Penulis, wartawan Pikiran Rakyat, Fellow Konrad Adenauer Asian Center for Journalism untuk menjalani studi di program Master of Art in Journalism di Dept. Communication Ateneo de Manila University, Filipina.

Sumber: PR, 13 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar